Agar ibadah
diterima di sisi Allah, haruslah terpenuhi dua
syarat, yaitu:
- Ikhlas karena Allah.
- Mengikuti tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam (ittiba’).
Jika salah satu syarat saja yang terpenuhi, maka
amalan ibadah menjadi tertolak. Berikut kami
sampaikan bukti-buktinya dari Al Qur ’an, As
Sunnah, dan Perkataan Sahabat.
Dalil Al Qur’an
Dalil dari dua syarat di atas disebutkan sekaligus
dalam firman Allah Ta ’ala, yang artinya :
“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan
Tuhannya, maka hendaklah ia mengerjakan amal
yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan
seorangpun dalam beribadat kepada
Tuhannya “.” (QS. Al Kahfi: 110)
Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan, “Maka
hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh”,
maksudnya adalah mencocoki syariat Allah
(mengikuti petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, pen). Dan “janganlah ia
mempersekutukan seorangpun dalam beribadat
kepada Tuhannya ”, maksudnya selalu
mengharap wajah Allah semata dan tidak berbuat
syirik pada-Nya. Inilah dua rukun diterimanya
ibadah, yaitu harus ikhlas karena Allah dan
mengikuti petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam.” [ Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu
Katsir, 9/205, Muassasah Qurthubah.]
Al Fudhail bin ‘Iyadh tatkala menjelaskan
mengenai firman Allah, yang artinya :
“Supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu
yang lebih baik amalnya.” (QS. Al Mulk: 2), beliau
mengatakan, “yaitu amalan yang paling ikhlas dan
showab (sesuai apa yang dicontohkan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam).”
Lalu Al Fudhail berkata, “Apabila amal dilakukan
dengan ikhlas namun tidak mencocoki ajaran
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, amalan tersebut
tidak akan diterima. Begitu pula, apabila suatu
amalan dilakukan mengikuti ajaran beliau
shallallahu ‘alaihi wa sallam namun tidak ikhlas,
amalan tersebut juga tidak akan diterima. Amalan
barulah diterima jika terdapat syarat ikhlas dan
showab. Amalan dikatakan ikhlas apabila
dikerjakan semata-mata karena Allah. Amalan
dikatakan showab apabila sesuai ajaran Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam.” [ Jaami’ul ‘Ulum wal
Hikam, Ibnu Rojab Al Hambali, Darul Muayyid,
cetakan pertama, 1424 H.]
Dalil dari Al Hadits
Dua syarat diterimanya amalan ditunjukkan
dalam dua hadits. Hadits pertama dari ‘Umar bin
Al Khottob, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, yang artinya
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada
niat. Dan setiap orang akan mendapatkan apa
yang ia niatkan. Barangsiapa yang berhijrah
karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya
adalah pada Allah dan Rasul-Nya. Barangsiapa
yang hijrah karena dunia yang ia cari-cari atau
karena wanita yang ingin ia nikahi, maka
hijrahnya berarti pada apa yang ia tuju (yaitu
dunia dan wanita, pen) ”.[ HR. Bukhari no. 6689
dan Muslim no. 1907.]
Hadits kedua dari Ummul Mukminin, ‘Aisyah
radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, yang artinya
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam
agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka
perkara tersebut tertolak. ”[ HR. Bukhari no. 20 dan
Muslim no. 1718.]
Dalam riwayat Muslim disebutkan, yang artinya
“Barangsiapa melakukan suatu amalan yang
bukan ajaran kami, maka amalan tersebut
tertolak. ” [ HR. Muslim no. 1718.]
Dalam Jaami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab Al
Hambali mengatakan, “Hadits ini adalah hadits
yang sangat agung mengenai pokok Islam.
Hadits ini merupakan timbangan amalan zhohir
(lahir). Sebagaimana hadits ‘innamal a’malu bin
niyat’ [sesungguhnya amal tergantung dari
niatnya] merupakan timbangan amalan batin.
Apabila suatu amalan diniatkan bukan untuk
mengharap wajah Allah, pelakunya tidak akan
mendapatkan ganjaran. Begitu pula setiap amalan
yang bukan ajaran Allah dan Rasul-Nya, maka
amalan tersebut tertolak. Segala sesuatu yang
diada-adakan dalam agama yang tidak ada izin
dari Allah dan Rasul-Nya, maka perkara tersebut
bukanlah agama sama sekali. ” [ Jami’ul Ulum wal
Hikam, hal. 77.]
Di kitab yang sama, Ibnu Rajab rahimahullah
mengatakan, “Suatu amalan tidak akan sempurna
(tidak akan diterima, pen) kecuali terpenuhi dua
hal:
1. Amalan tersebut secara lahiriyah (zhohir)
sesuai ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Hal ini terdapat dalam hadits
‘ Aisyah ‘Barangsiapa membuat suatu
perkara baru dalam agama kami ini yang
tidak ada asalnya, maka perkara tersebut
tertolak. ’
2. Amalan tersebut secara batininiyah
diniatkan ikhlas mengharapkan wajah
Allah. Hal ini terdapat dalam hadits ‘Umar
‘Sesungguhnya setiap amalan tergantung
pada niat’.” [ Jami’ul Ulum wal Hikam, hal.
20.]
Perkataan Sahabat
Para sahabat pun memiliki pemahaman bahwa
ibadah semata-mata bukan hanya dengan niat
ikhlas, namun juga harus ada tuntunan dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagai dalilnya, kami
akan bawakan dua atsar dari sahabat.
Pertama: Perkataan ‘Abdullah bin ‘Umar.
Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata,
“Setiap bid’ah adalah sesat, walaupun manusia
menganggapnya baik.” [ Diriwayatkan oleh Ibnu
Battoh dalam Al Ibanah ‘an Ushulid Diyanah,
2/212/2 dan Al Lalika’i dalam As Sunnah (1/21/1)
secara mauquf (sampai pada sahabat) dengan
sanad yang shahih. Lihat Ahkamul Janaiz wa
Bida’uha, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al
Albani, hal. 285, Maktabah Al Ma’arif, cetakan
pertama, tahun 1412 H.]
Kedua: Kisah ‘Abdullah bin Mas’ud.
Terdapat kisah yang telah masyhur dari Ibnu
Mas ’ud radhiyallahu ‘anhu
Diriwayatkan oleh Ad Darimi (1/79), Al Bazzar
(Tarikh Wasith 1/198) dari ‘Amru bin Salamah Al
Hamdani, katanya:”Kami pernah duduk di pintu
‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu sebelum
shalat zhuhur. Kalau dia keluar, kami berangkat
bersamanya menuju Masjid. Tiba-tiba datanglah
Abu Musa Al Asy ’ari radhiyallahu ‘anhu sambil
berkata:”Apakah sudah keluar bersama kalian Abu
‘Abdirrahman? Kami katakan:”Belum.” Tatkala
beliau keluar, kami berdiri, dan Abu Musa
berkata: ”Ya Abu ‘Abdirrahman, sungguh aku baru
saja melihat sesuatu yang pasti kau ingkari di
Masjid itu. Dan saya tidak melihat –alhamdulillah-
kecuali kebaikan.”
Ibnu Mas’ud berkata:”Apa itu?” Katanya
pula:”Kalau kau panjang umur akan kau lihat pula
sendiri. Saya lihat di masjid itu sekelompok orang
dalam beberapa halaqah sedang menunggu
shalat, dan masing-masing halaqah dipimpin satu
orang, di tangan mereka tergenggam kerikil, dia
berkata: ”Bertakbirlah seratus kali!” Maka yang lain
pun bertakbir seratus kali. Pemimpinnya
mengatakan: ”Bertahlil seratus kali!” Merekapun
bertahlil (mengucapkan laa ilaaha illallaahu).
Pemimpinnya mengatakan: ”Bertasbihlah seratus
kali!” Merekapun bertasbih seratus kali. Ibnu
Mas’ud bertanya:”Lalu apa yang kau katakan
kepada mereka?”
Abu Musa berkata:”Saya tidak mengatakan
sesuatu karena menunggu pendapatmu.”
Ibnu Mas’ud berucap: “Mengapa tidak kau
perintahkan mereka menghitung dosa-dosa
mereka, dan kau jamin tidak akan hilang sia-sia
kebaikan mereka sedikitpun ?”
Kemudian dia berjalan, dan kami pun
mengikutinya sampai tiba di tempat halaqah-
halaqah itu. Beliau berhenti dan berkata: ”Apa yang
sedang kalian kerjakan ini?”
Mereka berkata:”Ya Abu ‘Abdirrahman, kerikil
yang kami gunakan untuk bertakbir, bertahlil dan
bertasbih. ” (untuk menghitung bilangan takbir,
tahlil & tasbih)
Beliau berkata:
“Coba kalian hitung dosa-dosa kalian, saya jamin
tidak akan hilang sia-sia kebaikan kalian sedikitpun.
Celaka kalian, wahai ummat Muhammad!
Alangkah cepatnya kalian binasa., mereka para
sahabat Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi
wa sallam, masih banyak di sekitar kalian. Pakaian
beliau belum lagi rusak, mangkok-mangkok
beliau beliau belum lagi pecah. Demi Zat yang
jiwaku di tangan-Nya. Sesungguhnya kalian ini
berada di atas millah (ajaran) yang lebih lurus
daripada ajaran Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa ‘ala alihi wa sallam, ataukah sedang membuka
pintu kesesatan?”
Mereka berkata:”Demi Allah, wahai Abu
‘Abdirrahman, kami tidak menginginkan apa-apa
kecuali kebaikan.”
Beliau berkata:”Betapa banyak orang yang
menginginkan kebaikan tetapi tidak pernah
mendapatkannya. Sesungguhnya Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam telah
menyampaikan kepada kami satu hadits, kata
beliau:
“Sesungguhnya ada satu kaum mereka
membaca Al Quran tapi tidak melewati
tenggorokan mereka. Mereka lepas dari Islam
seperti lepasnya anak panah dari sasarannya. ”
Demi Allah, saya tidak tahu, barangkali sebagian
besarnya adalah dari kalian. ” Kemudian beliau
berpaling meninggalkan mereka.
‘Amru bin Salamah mengatakan:”Sesudah itu
kami lihat sebagian besar mereka ikut memerangi
kami di Nahrawand bersama Khawarij. ” (Ash
Shahihah no 2005).
Perhatikanlah bagaimana sikap sahabat yang
mulia ‘Abdullah bin Mas’ud radliyallahu ‘anhu
yang mengingkari halaqah (majelis dzikir)
tersebut di masjid. Apakah kita mengira bahwa
beliau mengingkari amalan dzikrullah dan
mengingkari majelis dzikir ini, atau apakah kita
menyangka bahwa beliau Abdullah bin Mas ’ud
radliyallahu ‘anhu mengingkari tahlil, tasbih dan
takbir? Apakah pantas kita katakan bahwa sahabat
yang mulia ini mengingkari orang-orang yang
ingin beribadah dan berlomba-lomba kepada
kebaikan?
Tentunya, sekali-kali tidak demikian. Hal itu
tidaklah diingkari oleh ‘Abdullah bin Mas’ud
radliyallahu ‘anhu. Dan bagaimana mungkin
beliau mengingkarinya, sementara beliau
termasuk rawi yang banyak menyampaikan
hadits-hadits tentang keutamaan (fadlilah) tasbih,
tahlil dan takbir.
Adapun yang ditentang oleh Ibnu Mas’ud
radliyallahu ‘anhu adalah tata caranya yang
dilakukan secara berjama’ah dengan suara keras,
dipimpin seorang amir (pemimpin, pengatur)
yang memerintahkan mereka demikian.
Kemudian ditambah lagi mereka menggunakan
kerikil-kerikil untuk menghitung jumlah dzikir
yang telah ditentukan, di mana tidak pernah
dikerjakan seperti itu oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam dan para sahabatnya.
Dan tidak cukup dengan alasan mereka bahwa
niat mereka baik. Beliau membantah dengan
ungkapan yang sangat tepat yang selaras dengan
prinsip pokok dan kaidah (pedoman) yang
ditetapkan oleh syari ’at yang mudah ini, kata
beliau: “Betapa banyak orang yang menginginkan
kebaikan tetapi tidak mendapatkannya.”
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman: yang artinya
“Katakanlah:”Maukah kamu, kami terangkan
tentang orang-orang yang paling merugi
amalannya, sia-sia usaha mereka di dunia, dalam
keadaan mereka menyangka telah berbuat sebaik-
baiknya. ” (QS. Al Kahfi 103)
Sehingga tidaklah tepat perkataan sebagian orang
ketika dikritik mengenai ibadah atau amalan yang
ia lakukan, lantas ia mengatakan, “Menurut saya,
segala sesuatu itu kembali pada niatnya masing-
masing ”, atau perkataan “ah yang pentingkan
niatnya.” Ingatlah, tidak cukup seseorang
melakukan ibadah dengan dasar karena niat baik,
tetapi dia juga harus melakukan ibadah dengan
mencocoki (sesuai) ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam.
Sehingga dalam beramal haruslah berdasakan
dalil yang shohih, tidak boleh kita bertaklid
(mengekor) kepada seorang ulama, kyai, ustadz,
tanpa kita mengetahui dari mana mereka
mengambil pendapatnya.
Imam Ahmad bin Hambal berkata : “ Jangan
engkau bertaklid kepadaku atau Imam Syafi’I atau
Imam Auza’I atau Imam Ats-Tsaury tapi ambilah
dari mana mereka mengambil.”
Sebab-sebab Munculnya Amalan Tanpa
Tuntunan
Pertama: Tidak memahami dalil dengan benar.
Kedua: Tidak mengetahui tujuan syari’at.
Ketiga: Menganggap suatu amalan baik dengan
akal semata.
Keempat: Mengikuti hawa nafsu semata ketika
beramal.
Kelima: Berbicara tentang agama tanpa ilmu dan
dalil.
Keenam: Tidak mengetahui manakah hadits
shahih dan dho ’if (lemah), mana yang bisa
diterima dan tidak.
Ketujuh: Mengikuti ayat-ayat dan hadits yang
masih samar.
Kedelapan: Memutuskan hukum dari suatu
amalan dengan cara yang keliru, tanpa petunjuk
dari syari ’at.
Kesembilan: Bersikap ghuluw (ekstrim) terhadap
ulama, kyai,ustadz tertentu. Jadi apapun yang
dikatakan panutannya (selain Nabi shallallahu
‘ alaihi wa sallam), ia pun ikuti walaupun itu keliru
dan menyelisih dalil.
Inilah di antara sebab munculnya berbagai
macam amalan tanpa tuntunan (bid ’ah) di sekitar
kita.
Dikutip dari www.rumaysho.com (dengan
penambahan)
Kategori Kategori: : ibadah ibadah