Thursday, January 13, 2011

LELAKI YANG SESUKAHATI MEMILIH BIDADARI

Lelaki yang sesuka hati memilih Bidadari
Oleh : Ibnu Abdul Bari el `Afifi
Abu Darda` berkata, “Man ghaddha basharahu
`ani-n nadhari-l harâmi zuwwija mina-l hûri-l `în
haitsu ahabba, barangsiapa menundukkan
pandangannya dari yang haram, ia akan
dinikahkan dengan bidadari mana yang ia
cinta.” (Risalatu-l Mustarsyidin, Haris al Muhasibi,
Daru-s Salam).
Diantara tantangan terberat yang dihadapi para
lelaki saat ini adalah menjaga pandangan mata
dari melihat wanita yang tidak halal baginya.
Bagaimana tidak? Berbagai media seperti Tv, surat
kabar, dan internet selalu mempertontonkan aurat
wanita. Tragisnya, kaum hawa ikut terpengaruh
sehingga mereka tanpa malu membuka bagian
tubuh yang tidak layak diperlihatkan kecuali
kepada suaminya tercinta. Sekali lagi, tantangan
ini sungguh berat. Terlebih bagi lelaki yang lemah
iman, dan tidak memiliki pendirian kokoh.
Rasululloh pernah bersabda kepada segenap
wanita seusai khutbah Iedul Adha, “Mâ min
nâqishâti aqlin wa dînin adzhaba li lubbi-r rajuli-l
hâzimi min ihdâkunna, tidak ada orang yang
kurang akal dan agamanya yang bisa
melenyapkan akal lelaki yang berpendirian kuat
selain daripada kalian, wahai para wanita.”
Logikanya, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh
Utsaimin rahimahullah ketika men-syarah
riyadhu-s shalihin, kalau lelaki yang punya
pendirian sedemikian kuat saja bisa tertaklukkan
oleh wanita, apatah lagi dengan lelaki rendahan
yang tidak memiliki pendirian, azzam, agama dan
kejantanan, tentu lebih dahsyat lagi. Karena itulah,
tulisan ini ditulis. Semata-mata untuk saling
menasehati, di atas kebenaran dan ketakwaan.
Insya’Allah.
Artikel ringan ini menjelaskan urgensi menjaga
hati dengan menundukkan pandangan mata dari
hal yang diharamkan. Merekalah lelaki yang
dirindu bidadari di akherat kelak. Merekalah lelaki
sejati yang mampu menaklukan dorongan hawa
nafsunya sehingga dijanjikan jannah oleh sang
pemilik hati hamba-hamba-Nya, Allah Ta’ala.
Lihatlah betapa Allah menjanjikan jannah bagi
mereka melalui firman-Nya, “Wa ammâ man
khâfa maqâma rabbihi wa naha-n nafsa `ani-l
hawâ fa inna-l jannata hiya-l ma`wâ. Dan adapun
orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya, dan
menahan diri dari keinginan hawa nafsunya,
maka jannah adalah tempat tinggalnya.” (an
Nazi’at : 40-41). Karena orang yang mampu
mengendalikan hawa nafsunya dari memandang
yang haram, adalah orang bertakwa; yang takut
kepada keagungan Allah Ta`ala, “Wa li man khâfa
maqâma rabbihi jannatân. Dan bagi orang yang
takut akan kedudukan Tuhannya ada dua
jannah.” (ar Rahman : 46). Ya, dua jannah,
semuanya diperuntukkan bagi orang yang takut
kepada Rabb-nya. Takut yang menghalanginya
untuk melihat apa yang tidak halal baginya.
Tentang ayat ini, Mujahid berkata, “Yaitu orang
yang ketika hendak melakukan maksiat, dia ingat
akan kedudukan Allah, hingga ia tidak jadi berbuat
maksiat.
Janji Allah ini tidaklah berlebihan. Sama sekali
tidak. Innama-l jazâ`u min jinsi-l `amal. Balasan
sesuai dengan amalan. Karena menundukkan
pandangan dari apa yang diharamkan tidaklah
mudah, bahkan sangat berat. Sufyan ats Tsauri
dalam menafsirkan firman Allah, “Wa khuliqa-l
insânu dha`ifâ, dan manusia diciptakan dalam
kondisi lemah.” (an Nisa` : 28), menyebutkan,
“Jika ada seorang wanita yang berjalan didepan
seorang laki-laki, maka laki-laki tersebut tidak akan
mampu untuk tidak melihatnya. Hatinya akan
tertusuk oleh virus kecantikan wanita tersebut.
Adakah sesuatu yang lebih lemah daripada ini?”
Menjaga Hati dengan Menjaga Pandangan
Mata
Apa korelasi menjaga hati dengan menjaga
pandangan mata yang diharamkan? Korelasinya
sangat erat. Karena pandangan menghasilkan
getaran hati, getaran hati menghasilkan pikiran,
pikiran melahirkan syahwat, syahwat melahirkan
hasrat dan hasrat melahirkan niat. Bila niat sudah
kuat, maka yang dilarang akan terjadi dan jatuh
dalam lembah maksiat.
Hati bagaikan sebuah rumah, dan mata adalah
pintunya. Pencuri baru bisa masuk rumah jika
pintunya terbuka. Jika masuk, pencuri itu akan
mengambil perhiasan iman dan mutiara takwa,
serta meninggalkan hati dalam keadaan
berantakan. Gerakan pencuri ini sangat lincah.
Dengan sigap, ia dapat menyelinap. Sehingga,
ketika ditanya tentang pandangan yang sekejap
saja, Rasululloh bersabda, “Palingkanlah
pandanganmu.”
Karena mengumbar pandangan adalah dosa.
Dosa yang akan membuat pelakunya malu untuk
bersua Rabbnya. Di dalam al Fawa’id, Ibnu
Qayyim al Jauziyah meneliti beberapa penyakit
yang menyebabkan matinya hati. Dalam
kesimpulannya, dia menetapkan beberapa
pengaruh negatif dari dosa-dosa, “Sedikitnya
pertolongan, salahnya pendapat, samarnya
kebenaran, lemahnya ingatan, tersia-sianya
waktu, kebencian orang lain, keterasingan
antara hamba dengan Tuhannya,
terhalangnya doa, kerasnya hati, hilangnya
keberkahan dalam rizki dan umur, hilangnya
ilmu, melekatnya kehinaan, kerendahan
martabat di hadapan musuh, sempitnya dada
dan lain sebagainya. ”
Dari semua itu, yang tersisa hanyalah ketakutan
untuk bertemu dengan Dzat yang Maha Adil, dan
ketakutan akan hisab dan siksa. Oleh karena itu,
ingatlah selalu pesan Ibnul Jauzi, “Jauhkanlah diri
anda dari dosa. Jika di dalamnya hanya ada
ketakutan untuk bertemu (dengan Allah),
maka itu sudah cukup sebagai siksaan. Saat
yang paling indah bagi Nabi Ayyub adalah
tatkala ia melihat lagi anaknya, Nabi Yusuf;
dan saat yang paling sulit bagi saudara-
saudara Yusuf adalah ketika bertemu
dengan Yusuf. ”
Lihatlah, betapa saudara-saudara Yusuf gugup
dengan wajah memerah malu ketika orang yang
ada didepannya bertanya kepada mereka, “Qâla
hal `alimtum mâ fa`altum bi yûsufa wa akhihi idz
antum jâhilûn?” mereka berkeringat dingin
mendengar pertanyaan dari lelaki yang kemudian
diketahui sebagai saudaranya, Yusuf; adik yang
berpuluh-puluh tahun yang lalu pernah mereka
jeburkan ke dalam sumur. Kepala mereka
tertunduk. Malu dan berasa bersalah. Dengan
bibir bergetar mereka menjawab lirih, “Qâlu
ainnaka la anta Yûsuf.”
Ah, ketika membaca jawaban saudara-saudara
Yusuf ini, selalunya ada rasa aneh yang
menyelusup dalam jiwa seolah bisa merasakan
kekalutan jawaban mereka….., kalau hanya
bersalah kepada manusia sudah membuat kita
malu bertemu, lalu bagaimanakah kita meletakkan
muka kita di hadapan Dzat yang mengetahui
semua detail tingkah laku kita; besar-kecilnya,
samar-jelasnya, tersembunyi-tampaknya…..,
tanpa ada sesuatupun yang luput dari-Nya? “Wa
ma kana rabbuka nasiyya, dan Rabbmu tidak
pernah lupa.” (Maryam : 64). Allâh…
allahummaghfirlanâ wa tub alainâ…., ampuni
kami ya Rabb
Mereka adalah Teladan kita
Ikutilah jalan salafus shaleh. Segarkan dirimu
dengan sejarah hidup mereka. Hidupkan hatimu
dengan mengingat mereka. Dan ikutilah jejak
mereka niscaya engkau akan menjadi manusia
mulia; dihadapan Allah dan juga segenap
manusia.
Rabi’ bin Khutsaim, murid Abdullah ibn Mas`ud
yang paling mulia, selalu menjaga pandangan
matanya. Pada suatu hari ada sekelompok wanita
yang mengira bahwa Rabi’ adalah buta, kemudian
mereka memohon perlindungan kepada Allah
dari kebutaan;
Hasan ibn Abu Sinan. Selesai shalat `Ied, ada
yang berkata kepadanya, “Kami belum pernah
melihat shalat `Ied di mana jama`ah
perempuannya banyak seperti ini.” Kemudian
beliau menjawab, “Aku tidak bertemu dengan
seorang wanita pun sampai aku pulang.”
Daud ibn Abdullah. Ketika sebagian pejabat
Bashrah mencarinya, Daud bersembunyi di
rumah salah seorang sahahabatnya. Sahabatnya
itu memiliki istri yang dijuluki Zarqa (wanita
bermata biru) yang berparas cantik. Ketika
suaminya hendak keluar rumah, ia berpesan
kepada Zarqa agar bersikap santun dan melayani
Dawud dengan baik. Setelah kembali ke rumah,
sahabatnya tadi bertanya kepada Daud,
“Bagaiman sikap Zarqa kepadamu?” Daud malah
bertanya, “Siapa itu Zarqa?” sahabatnya
menjawab, “Dia adalah ibu rumah ini (istriku).”
Daud berkata, “Aku tidak tahu, apakah ia bermata
biru atau bermata hitam.” Ketika sang suami
melihat Zarqa, ia berkata kepadanya, “Bukankah
aku sudah berpesan agar engkau bersikap santun
dan melayaninya dengan baik? Mengapa engkau
tidak melaksanakannya?” Zarqa menjawab,
“Engkau menitipkan kepadaku lelaki buta.
Sungguh, ia tidak pernah mengangkat kelopak
matanya kepadaku.”
Muhammad ibn Sirin. Dengarkanlah pengakuan
menakjubkan dari Muhammad ibn Sirin, “Aku
tidak pernah menggauli wanita, baik di waktu jaga
atau di waktu tidur (mimpi) selain Ummu Abdillah
(istrinya). Jika aku melihat wanita di dalam mimpi,
aku akan sadar bahwa dia tidak halal bagiku,
maka aku memalingkan wajahku darinya.”
Subhanallah, bravo `alaih….,
Beberapa contoh di atas adalah para lelaki sejati
yang berhati bersih. Suci. Peka terhadap dosa,
dan menghindari jerat-jerat dosa. Karena mereka
sadar, kenikmatan bermunajat hanya bisa diraih
dengan hati yang bersih. Pernah, ada yang
bertanya kepada Wuhaib ibn Ward, “Apakah
orang yang bermaksiat kepada Allah dapat
merasakan lezatnya ibadah?” beliau menjawab,
“Tidak, bahkan orang yang baru berniat
melakukan maksiat pun tidak akan bisa
merasakan lezatnya ibadah. ”
Surat cinta dari Allah Azza wa Jalla
Karena cinta, Allah mengabadikan pesan
menundukkan pandangan, dan menjaga
kemaluan di dalam kitab-Nya. Sungguh ini
merupakan bukti cinta-Nya. Cinta yang tulus dari
sang Pencipta kepada yang dicipta. Tentu, surat
cinta ini untuk kebaikan hamba-hamba-Nya. Allah
berfirman, “Qul li-l mu`minîna yaghuddhû min
abshârihim wa yahfadhû furûjahum dzâlika azkâ
lahum innallâha khabîrun bimâ yashna`ûn,
Katakanlah kepada orang-orang beriman,
‘Hendaklah mereka menjaga pandangan mereka
dan memelihara kemaluan mereka. Yang
demikian itu lebih mensucikan bagi mereka.
Sesungguhnya Allah Mahamengetahui apa yang
mereka perbuat.” (an Nuur : 30).
Tentang ayat ini, Abu Hamid al Ghazali berkata,
“Ketika aku merenungi ayat ini, meskipun
ayatnya pendek, aku menemukan tiga
makna berharga di dalamnya; pendidikan
(ta`dîb), peringatan (tanbîh), dan ancaman
(tahdîd).
Adapun pendidikan (ta`dîb) terdapat dalam,
“Katakanlah kepada orang-orang beriman,
‘Hendaklah mereka menjaga pandangan mereka
dan memelihara kemaluan mereka.” Sudah
menjadi keharusan bagi seorang hamba untuk
melaksanakan perintah tuannya dan patuh
terhadap berbagai didikannya. Jika tidak, maka ia
akan menjadi orang yang tidak beretika dan
diperkenankan hadir dalam majlisnya, dan
bersimpuh di hadapannya. Pahamilah point ini
dengan baik.
Sedangkan peringatan (tanbîh) termuat dalam,
“Yang demikian itu lebih mensucikan bagi
mereka.” Ayat ini memililiki dua makna ; pertama,
mensucikan hati mereka, dan kedua, membuat
mereka lebih kaya dengan kebaikan. Karena, az
zakah memliki arti bertambah (an numuw). Jadi
diingatkan bahwa menjaga mata akan
membersihkan hati dan memperbanyak
ketaaatan. Alasannya, jika anda tidak menjaga
mata dan membiarkannya liar, maka anda akan
melihat sesuatu yang tidak berguna bagi anda.
Dan sangat mungkin anda akan memandang
sesuatu yang diharamkan. Jika anda melihatnya
dengan sengaja. Anda mendapatkan dosa besar.
Bisa jadi hati anda akan terpengaruh oleh apa
yang anda pandang, dan anda akan binasa jika
Allah tidak menyayangi anda.
Adapun makna ancaman (tahdîd) termaktub
dalam penggalan ayat, “Sesungguhnya Allah
Mahamengetahui apa yang mereka perbuat.”
Renungan
Saudaraku,
Memandang sesuatu yang tidak halal akan
mengisi pikiran dengan hal-hal haram.
Sebaliknya, jika manusia berpikir tentang
keagungan kerajaan Allah di langit dan di bumi,
maka itulah ibadah paling utama yang akan
meningkatkan takwa, keyakinan dan derajat di sisi
Allah;
Memandang sesuatu yang tidak halal akan
meninggalkan kesedihan setelah yang dipandang
itu menghilang. Berbeda bila kesedihan itu lahir
karena melihat kondisi orang-orang muslim yang
terbantai di penjuru dunia karena membela dien
mereka, maka itu adalah ikatan pertanda
kokohnya iman dan ikatan persaudaraan,
“Innama-l mu`minûna ikhwah, hanyasanya
orang-orang mukmin adalah bersaudara.” (al
Hujurat : 10);
Memandang sesuatu yang tidak halal akan
membuat manusia menghabiskan waktu untuk
dosa dan maksiat. Keduanya adalah tiket menuju
neraka. Sebaliknya, bila manusia menghabiskan
waktunya untuk beribadah kepada Allah, maka ia
akan memetik kebahagiaan dan kenikmatan
memandang wajah Allah yang Mahaindah;
Memandang sesuatu yang tidak halal akan
meneteskan airmata karena perpisahan dengan
yang dicintai. Andai saja tetesan airmata itu
karena takut kepada Allah, maka ia akan
mendapatkan naungan di bawah Arsy Allah pada
hari tidak ada naungan kecuali naungan Dzat yang
Mahakasih;
Memandang sesuatu yang tidak halal akan
mendorong kaki dan tangan bergerak kepada
sesuatu yang sia-sia dan mengundang birahi. Jika
tangan dan kaki digerakkan untuk berkhidmat
kepada Allah dan menulis ilmu dan hadits, maka
manusia akan mendapatkan ganjaran setimpal
berupa pertemuan dengan sang guru sejati di
jannah;
Bila engkau terpesona dengan kecantikan wanita
dunia, maka bandingkanlah mereka dengan
bidadari-bidadari jannah. Bidadari, Siapakah
bidadari? Kecantikan wajahnya bagaikan
sinar matahari. Andai saja ia turun ke bumi,
maka bumi dan langit akan semerbak
mewangi. Lisan manusia tidak kan berhenti
berucap tahlil, takbir, dan tasbih kepada
Allah. Cahaya matahari akan redup
sebagaimana cahaya bintang-bintang di
sekitar matahari. Orang yang berada di
dekat matahari akan merasa nyaman dan
damai. Jilbab yang yang menutupi kepalanya
lebih baik dari dunia seisinya. Kulit tubuhnya
memancarkan cahaya yang mampu
menembus tujuh puluh pakaian. Jika saja
Allah tidak menetapkan penghuni jannah
untuk tidak mati, tentu mereka akan mati
karena kecantikan para bidadari. Jika
seorang wanita tersenyum kepada
suaminya, maka jannah akan terang
benderang karena senyumannya. Jika ia
berjalan dari istana ke istana, maka ia
bagaikan matahari ia bagaikan matahari
yang tergeser di cakrawala. Dengan semua
itu, mengapa anda mudah tergoda dengan
bangkai?
Gambaran lebih indah tentang bidadari pernah
ditulis oleh Ibnu Qayyim al Jauziyyah. Tulisnya,
“Jika kamu meminta mereka untuk menikah di
jannah, mereka itu adalah para perawan yang
mengalir pada tubuh mereka darah muda. Seperti
bunga mawar dan buah apel yang tidak
terbungkus dan seperti buah delima yang mulus.
Matahari terbit dari wajahnya yang indah dan kilat
menyambar di antara sela-sela giginya ketika
tersenyum. Jika dia memeluk suaminya, dia akan
memeluk seperti pelukan antara bumi dan
matahari. Jika dia berbicara, pmebicaraannya
seperti seorang yang bercengkerama dengan
kekasihnya. Jika dipeluk, dia melekat seperti dua
ranting yang saling bertautan.
Pipinya yang bening bisa digunakan untuk
bercermin dan tulangnya yang putih kelihatan
dari balik dagingnya, jika kulit dan dagingnya tidak
tertutupi. Jika dia melihat dunia, maka antara langit
dan bumi akan dipenuhi bau wanginya, sehingga
mulut manusia akan senantiasa membaca tahlil,
takbir dan tasbih. Apa yang ada di barat dan
timur akan berdandan untuknya, dan setiap mata
akan melihatnya dan terpejam untuk melihat
selainnya. Cahayanya akan meredupkan cahaya
matahari seperti matahari yang meredupkan
cahaya bintang, dan akan beriman kepada Allah
seluruh manusia yang ada di atasnya.
Jilbab yang ada di atas kepalanya lebih baik
daripada dunia dan seisinya, hasrat untuk
menikahinya lebih besar daripada segalanya.
Semakin lama waktu bertambah, dia akan
kelihatan semakin cantik dan indah. Semakin hari
akan semakin bertambah cinta dan erat. Dia tidak
pernah haidh, melahirkan dan nifas. Suci dari
kotoran, air ludah, kencing, air besar dan kotoran
lainnya.
Kegadisannya tidak akan pernah hilang dan muda
selamanya. Kecantikannya tidak pudar dan tidak
ada rasa bosan untuk menggaulinya. Dia hanya
ingin melayani suaminya dan tidak pernah tertarik
pada selainnya dan sebaliknya, sehingga dia
merupakan puncak ketenangan dan hawa nafsu.
Jika melihatnya akan menggembirakan dan jika
diperintah untuk taat, dia pun mentaatinya. Jika
suaminya meninggalkannya, maka dia akan
menjaga diri dan keamanannya. Dia seorang
perawan yang sebelumnya tidak pernah
tersentuh oleh manusia atau jin, sehingga setiap
kali melihatnya akan menimbulkan rasa gembira.
Setiap kali berbicara dengannya, seakan di telinga
dipenuhi permata yang indah. Jika dia telanjang
(upss. Astaghfirullah…), seluruh istana dan
ruangan penuh dengan cahaya.
Jika kamu bertanya tentang usia
Dia usianya masih sangat muda
Jika bertanya tentang kecantikan
Pernahkah kamu melihat matahari dan bulan?
Jika kamu bertanya tentang matanya,
Seperti warna paling hitam di tempat yang paling
putih (sangat jelita)
Jika kamu bertanya tentang bentuk tubuhnya
Pernahkah anda melihat pohon yang langsing
Jika kamu bertanya tentang buah dadanya,
Ia seperti buah delima yang lembut
Jika kamu bertanya tentang warna kulitnya
Dia seperti yakut dan marjan
Bagaimana bayangan anda ketika wanita
tersenyum di hadapan suaminya, maka jannah
pun menjadi terang dengan senyumannya. Jika
dia pindah dari satu istana ke istana yang lain,
anda akan mengatakan matahari berpindah dari
satu poros ke poros yang lainnya. Jika suaminya
tiba, alangkah mesra sambutannya. Jika ia
memeluk betapa hangat pelukannya.
Jika dia bernyanyi, suaranya terasa nikmat di
telinga dan mata. Jika dia merayu dan merajuk,
rayuan dan rajukannya terasa nikmat. Jika dia
memeluk, tidak ada pelukan yang lebih hangat
darinya. Dan jika dia memberi sesuatu atau
menerima, tidak ada cara sebaik yang
dilakukannya.”
Abu Darda` berkata, “Man ghaddha basharahu
`an an nadhari al harami zuwwija min al huri-l `in
haitsu ahabba, barangsiapa menundukkan
pandangannya dari yang haram, ia akan
dinikahkan dengan bidadari yang ia cinta.” (Risalah
al Mustarsyidin, Haris al Muhasibi, Daru-l Salam).
Pertanyaannya, dimanakah lelaki-lelaki sejati
yang semaunya sendiri menikahi para
bidadari itu, kini??
Sebagai penutup,
Saudaraku….., yakinlah dengan apa yang
disabdakan oleh Rasul Mulia, Muhammad
Shallallahu alaihi wa sallam,
“Innaka lan tada`a syai`an ittiqâ’allâhi jalla
wa `azza illa a`thâkallâhu khairan minhu,
sungguh tidaklah engkau meninggalkan
sesuatu karena takut kepada Allah yang
Maha Agung dan Mulia, kecuali Dia akan
memberimu sesuatu yang lebih baik
darinya.” (HR. Ahmad, dan Syu`aib al Arna’uth
berkomentar, ‘Sanadnya shahih”).
Apa balasannya? Pertanyaan ini dijawab oleh Ibnu
Taimiyyah rahimahullah –sebagaimana yang
dinukil oleh Syaikh Muhammad as-Salman dalam
bukunya, Mawâridu-d dham`ân : 7/769-770.
Beliau berkata, menundukkan pandangan dari
rupa yang dilarang untuk dilihat, seperti wanita
dan amrad ‘cantik’ (lelaki tampan yang tidak
berjenggot), akan mewariskan tiga hal :
Pertama : mendapatkan kenikmatan dan
kelezatan iman yang lebih manis dan lebih
nikmat daripada apa yang ia tinggalkan karena
Allah karena siapa yang meninggalkan sesuatu
karena Allah, Allah akan menggantinya dengan
sesuatu yang lebih baik;
Kedua : menundukkan pandangan akan
mewariskan cahaya di hati dan firasat (yang
tepat dan akurat);
Ketiga : memperoleh kekuatan, keteguhan dan
keberanian di hati sehingga dia dikaruniai Allah
kekuatan bashirah dan kekuatan hujjah.
NB : Artikel ini hanya diperuntukkan bagi penulis,
tetapi semoga para pembaca –segenap ikhwan
dan begitu pula para akhwat- juga mendapatkan
manfaatnya. Ya, artikel ini tidak hanya untuk para
ikhwan tetapi juga para akhwat, karena Allah
berfirman, “Qul li-l mu`minîna yaghuddhû min
abshârihim…,Katakanlah kepada orang-orang
yang beriman, “Hendaklah mereka menjaga
pandangan mereka.” (an Nuur : 30). Ayat ini
umum, untuk ikhwan dan juga akhwat. Wallahu
A’lam.
Akhukum fillah. Ibnu Abdul Bari el `Afifi.

Saturday, January 8, 2011

Saudariku… Kuingin Meraih SurgaBersamamu

Saudariku… Kuingin Meraih Surga
Bersamamu
Penulis: Ummu Ziyad
Memakai jilbab, untuk saat ini
dan di negara ini, bukanlah
berarti sebuah pengilmuan akan
agama. Dulu aku pernah beranggapan bahwa seorang yang
memakai jilbab adalah orang yang akan berusaha
mempertahankan jilbabnya disebabkan proses pemakaian
jilbab itu sendiri membutuhkan pergulatan di hati yang
membuncah-buncah dan penuh derai air mata. Tapi
sayangnya, makin bertambah usiaku, maka berubah pula
anggapan itu disebabkan berbagai kenyataan yang kutemui.
Aku baru menyadari ada sebagian wanita yang
menggunakan jilbab hanya karena sekedar disuruh atau
diwajibkan oleh orang tua, tempat belajar atau tempatnya
bekerja. Jika telah keluar dari ‘aturan’ itu, maka lepas pula
jilbab yang menutupi kepalanya. Mungkin karena itulah kain-
kain itu tidak menutup secara benar kepala dan dada mereka.
Sebagian lagi, memakai jilbab karena pada saat itu, jilbab
terasa pas untuk dipakai dan lebih menimbulkan kesan ‘gaya’
dan kereligiusan agama. Apalagi jika diberi pernak-pernik di
sana-sini. Jilbab yang seharusnya menutup keindahan
wanita tersebut malah justru menambah keindahan itu
sendiri. Ditambah lagi kesan agamis yang terasa nyaman di
hati.
Aku juga pernah berpikir dan bertanya-tanya, bahwa orang-
orang memakai cadar dan berjilbab lebar apakah tidak
kepanasan dengan seluruh atributnya? Apakah tidak repot
jika hendak keluar dimana mereka harus memakai seluruh
kain panjang tersebut? Mulai dari baju, jilbab yang lebar,
masih harus ditambah memakai kaus kaki! Ah! Dan di balik
jilbab itu, ternyata masih ada jilbab lagi! Dan… apakah
mereka bisa melihat dari balik cadar yang menutup
matanya?
Untuk yang satu ini, waktu tidak cukup untuk menjawab
semua pertanyaan itu. Karena butuh pengetahuan lain yang
merasuk ke dalam hati untuk mendapatkan jawabannya.
Pengetahuan akan indahnya Islam dengan segala
pengaturan yang diberikan oleh Allah. Pengetahuan akan
surga yang begitu indah dan damai dengan segala
kenikmatannya. Pengetahuan bahwa surga tidak akan
tercium oleh wanita yang mengumbar-umbar aurat di
depan khalayak. Pengetahuan bahwa penghuni neraka yang
paling banyak adalah wanita. Ternyata kerepotan itu
bukanlah kerepotan, melainkan sebuah usaha. Usaha dari
seorang wanita muslimah untuk menggapai surga-Nya.
Untuk bersanding dengan suaminya ditemani dengan
bidadari cantik lainnya. Panas dari jilbab itu bukanlah rasa
panas yang menyesakkan pikiran dan dada. Akan tetapi
hanya sepercik penguji jiwa yang dapat meluruhkan dosa-
dosa kecil dari seorang insan wanita. Bukankah Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bahwa setiap
kesusahan yang dialami muslim merupakan peluruh bagi
dosa-dosanya.
Maka… hatiku kini pedih… Ketika kemarin melihat saudariku
yang lain, seiring dengan berjalannya waktu, kini telah
membuka jilbabnya. Sempat kutanyakan, “Di mana
jilbabnya?”
Ia menjawab, “Tidak sempat kupakai.”
Aih… waktu kutanyakan itu, memang pada saat dimana
orang-orang sibuk menyelamatkan dirinya dikarenakan
bencana alam. Aku hanya terdiam mendengar jawaban itu.
Ah … mungkin karena sangat terkejutnya sehingga tidak
sempat berbalik lagi untuk mengambil jilbab.
Tapi hari ini… kutemukan dia sudah menanggalkan jilbabnya.
Bahkan tak tersisa sedikitpun jejak bahwa ia pernah memakai
jilbab. Kini ia telah bercelana pendek dengan pakaian yang
pendek pula. Sesak rasanya dada ini. Tetapi belum ada daya
dari diriku untuk bertanya lagi tentang sebuah kain yang
menutupi kepala dan dadanya. Masih tersisa di benakku, jika
seseorang yang menggunakan jilbab melepas jilbabnya …
maka habislah sudah… karena perenungan dan pergulatan
hati itu kini telah dikalahkan oleh hawa nafsu. Perenungan
yang pernah mendapatkan kemenangan dengan
dikenakannya jilbab itu kini justru bahkan tak mau diingat.
Hanya kepada Allah-lah aku mengadu dan memohonkan
hidayah itu agar tetap ada bersamaku dan kembali
ditunjukkan kepadanya.
Saudariku… kuingin meraih surga bersamamu. Maka, saat ini
aku hanya bisa berdoa. Semoga kita bertemu di surga
kelak …
Posted by www.muslimah.or.id

BERCANDA ADA BATASNYA

Bercanda Ada Batasnya
Penulis: Ummu ‘Aisyah
Saudariku muslimah, berbeda
dengan sabar yang tidak ada
batasnya, maka bercanda ada
batasnya. Tidak bisa dipungkiri, di saat-saat tertentu kita
memang membutuhkan suasana rileks dan santai untuk
mengendorkan urat syaraf, menghilangkan rasa pegal dan
capek sehabis bekerja. Diharapkan setelah itu badan kembali
segar, mental stabil, semangat bekerja tumbuh kembali,
sehingga produktifitas semakin meningkat. Hal ini tidak
dilarang selama tidak berlebihan.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun Bercanda
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sering mengajak istri dan
para sahabatnya bercanda dan bersenda gurau untuk
mengambil hati serta membuat mereka gembira. Namun
canda beliau tidak berlebihan, tetap ada batasnya. Bila
tertawa, beliau tidak melampaui batas tetapi hanya
tersenyum. Begitu pula dalam bercanda, beliau tidak berkata
kecuali yang benar. Sebagaimana yang diriwayatkan dalam
beberapa hadits yang menceritakan seputar bercandanya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Seperti hadits dari
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Aku belum pernah melihat
Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tertawa terbahak-
bahak hingga kelihatan amandelnya, namun beliau hanya
tersenyum. ” (HR. Bukhari dan Muslim)
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu pun menceritakan, para
sahabat bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam, “Wahai, Rasullullah! Apakah engkau juga bersendau
gurau bersama kami?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam menjawab dengan sabdanya, “Betul, hanya saja aku
selalu berkata benar.” (HR. Imam Ahmad. Sanadnya Shahih)
Adapun contoh bercandanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam adalah ketika beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam
bercanda dengan salah satu dari kedua cucunya yaitu Al-
Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhu. Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu menceritakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah menjulurkan lidahnya bercanda dengan Al-Hasan bin
Ali radhiyallahu ‘anhu. Ia pun melihat merah lidah beliau, lalu
ia segera menghambur menuju beliau dengan riang
gembira. ” (Lihat Silsilah Ahadits Shahihah, no hadits 70)
Adab Bercanda Sesuai Syariat
Poin di atas cukup mewakili arti bercanda yang dibolehkan
dalam syariat. Selain itu, hal penting yang harus kita
perhatikan dalam bercanda adalah:
1. Meluruskan tujuan yaitu bercanda untuk menghilangkan
kepenatan, rasa bosan dan lesu, serta menyegarkan suasana
dengan canda yang dibolehkan. Sehingga kita bisa
memperoleh semangat baru dalam melakukan hal-hal yang
bermanfaat.
2. Jangan melewati batas. Sebagian orang sering berlebihan
dalam bercanda hingga melanggar norma-norma. Terlalu
banyak bercanda akan menjatuhkan wibawa seseorang.
3. Jangan bercanda dengan orang yang tidak suka bercanda.
Terkadang ada orang yang bercanda dengan seseorang
yang tidak suka bercanda, atau tidak suka dengan canda
orang tersebut. Hal itu akan menimbulkan akibat buruk. Oleh
karena itu, lihatlah dengan siapa kita hendak bercanda.
4. Jangan bercanda dalam perkara-perkara yang serius.
Seperti dalam majelis penguasa, majelis ilmu, majelis hakim
(pengadilan-ed), ketika memberikan persaksian dan lain
sebagainya.
5. Hindari perkara yang dilarang Allah Azza Wa Jalla saat
bercanda.
- Menakut-nakuti seorang muslim dalam bercanda.
Rasullullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah
salah seorang dari kalian mengambil barang milik
saudaranya, baik bercanda maupun bersungguh-
sungguh. ” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Rasullullah shallallahu’alaihi wa sallam juga bersabda: “Tidak
halal bagi seorang muslim untuk menakut-nakuti muslim
yang lain. ” (HR. Abu Dawud)
- Berdusta saat bercanda. Rasullullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Aku menjamin dengan sebuah istana di
bagian tepi surga bagi orang yang meninggalkan debat
meskipun ia berada di pihak yang benar, sebuah istana di
bagian tengah surga bagi orang yang meninggalkan dusta
meski ia sedang bercanda, dan istana di bagian atas surga
bagi seseorang yang memperbaiki akhlaknya. ” (HR. Abu
Dawud). Rasullullah pun telah memberi ancaman terhadap
orang yang berdusta untuk membuat orang lain tertawa
dengan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Celakalah
seseorang yang berbicara dusta untuk membuat orang
tertawa, celakalah ia, celakalah ia. ” (HR. Imam Ahmad, Abu
Dawud dan Tirmidzi)
- Melecehkan sekelompok orang tertentu. Misalnya bercanda
dengan melecehkan penduduk daerah tertentu, atau profesi
tertentu, bahasa tertentu dan lain sebagainya, yang
perbuatan ini sangat dilarang.
- Canda yang berisi tuduhan dan fitnah terhadap orang lain.
Sebagian orang bercanda dengan temannya lalu mencela,
memfitnahnya, atau menyifatinya dengan perbuatan yang
keji untuk membuat orang lain tertawa.
6. Hindari bercanda dengan aksi atau kata-kata yang buruk.
Allah telah berfirman, yang artinya, “Dan katakanlah kepada
hamba-hamba-Ku, hendaklah mereka mengucapkan
perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya setan itu
menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya
setan adalah musuh yang nyata bagi kalian. ” (QS. Al-Isra’:
53)
7. Tidak banyak tertawa. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
telah mengingatkan agar tidak banyak tertawa, “Janganlah
kalian banyak tertawa. Sesungguhnya banyak tertawa dapat
mematikan hati. ” (HR. Ibnu Majah)
8. Bercanda dengan orang-orang yang membutuhkannya.
9. Jangan melecehkan syiar-syiar agama dalam bercanda.
Umpamanya celotehan dan guyonan para pelawak yang
mempermainkan simbol-simbol agama, ayat-ayat Al-Qur’an
dan syair-syiarnya, wal iyadzubillah! Sungguh perbuatan itu
bisa menjatuhkan pelakunya dalam kemunafikan dan
kekufuran.
Demikianlah mengenai batasan-batasan dalam bercanda
yang diperbolehkan dalam syariat. Semoga setiap kata,
perbuatan, tingkah laku dan akhlak kita mendapatkan ridlo
dari Allah, pun dalam masalah bercanda. Kita senantiasa
memohon taufik dari Allah agar termasuk ke dalam
golongan orang-orang yang wajahnya tidak dipalingkan saat
di kubur nanti karena mengikuti sunnah Nabi-Nya. Wallahul
musta ’an.
***
Diringkas dari: majalah As-Sunnah edisi 09/tahun XI/ 1428
H/2007 M.
Artikel www.muslimah.or.id

Menata Shaf, Sunnah Rasulyang Terabaikan

Oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al-
Atsariyyah
Menata shaf dalam shalat merupakan hal penting
saat kita menunaikan shalat berjama’ah. Namun
sangat disayangkan, sunnah Rasul ini mulai
diabaikan bahkan cenderung dilupakan.
Saudariku muslimah… Dalam penjelasan yang
lalu kita telah mengetahui hukum shalat
berjama’ah bagi wanita dan beberapa perkara
yang berkaitan dengan jama’ah wanita. Namun
mungkin masih tersisa di benak kita yang belum
kita dapatkan keterangannya. Salah satu masalah
yang bisa kita sebutkan di sini adalah tentang shaf
wanita dan keberadaan mereka ketika shalat
bersama pria.
Mengapa kita perlu membahas masalah shaf ini?
Karena banyak kita jumpai kesalahan di kalangan
sebagian wanita. Ketika mereka hadir dalam
shalat berjama’ah di masjid bersama kaum pria,
mereka bersegera menempati shaf yang awal,
tepat di belakang shaf terakhir jama’ah pria.
Mereka menduga, dengan itu mereka akan
mendapatkan keutamaan. Padahal justru
sebaliknya.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ُرْيَخ ِفْوُفُص ِلاَجِّرلا
اَهُلَّوَأ اَهُّرَشَو اَهُرِخآ،
ُرْيَخ ِفْوُفُص ِءاَسِّنلا
اَهُرِخآ اَهُّرَشَو اَهُلَّوَأ
“Sebaik-baik shaf pria adalah shaf yang awal dan
sejelek-jelek shaf pria adalah yang akhirnya.
Sebaik-baik shaf wanita adalah shaf yang terakhir
dan sejelek-jelek shaf wanita adalah yang paling
awal.” (Shahih, HR. Muslim, no. 440)
Al-Imam Nawawi rahimahullahu berkata:
“Adapun shaf-shaf pria maka secara umum
selama-lamanya yang terbaik adalah shaf awal
dan selama-lamanya yang paling jelek adalah shaf
akhir. Berbeda halnya dengan shaf wanita. Yang
dimaukan dalam hadits ini adalah shaf wanita
yang shalat bersama kaum pria. Adapun bila
mereka (kaum wanita) shalat terpisah dari
jama’ah pria, tidak bersama dengan pria, maka
shaf mereka sama dengan pria, yang terbaik shaf
yang awal sementara yang paling jelek adalah
shaf yang paling akhir. Yang dimaksud shaf yang
jelek bagi pria dan wanita adalah yang paling
sedikit pahalanya dan keutamaannya, dan paling
jauh dari tuntunan syar’i. Sedangkan maksud
shaf yang terbaik adalah sebaliknya. Shaf yang
paling akhir bagi wanita yang hadir shalat
berjama’ah bersama pria memiliki keutamaan
karena wanita yang berdiri dalam shaf tersebut
akan jauh dari bercampur baur dengan pria dan
melihat mereka. Di samping jauhnya mereka dari
interaksi dengan kaum pria ketika melihat gerakan
mereka, mendengar ucapannya, dan semisalnya.
Shaf yang awal dianggap jelek bagi wanita karena
alasan yang sebaliknya dari apa yang telah
disebutkan.” (Syarah Shahih Muslim, 4/159-160)
Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullahu
menyatakan: “Dalam hadits ini ada petunjuk
bolehnya wanita berbaris dalam shaf-shaf dan
dzahir hadits ini menunjukkan sama saja baik
shalat mereka itu bersama kaum pria atau
bersama wanita lainnya. Alasan baiknya shaf
akhir bagi wanita karena dalam keadaan demikian
mereka jauh dari kaum pria, dari melihat dan
mendengar ucapan mereka. Namun alasan ini
tidaklah terwujud kecuali bila mereka shalat
bersama pria. Adapun bila mereka shalat dengan
diimami seorang wanita maka shaf mereka sama
dengan shaf pria, yang paling utama adalah shaf
yang awal.” (Subulus Salam, 2/49)
Dari penjelasan di atas, dapat kita pahami dua
perkara berikut ini:
1. Bila wanita itu shalat berjama’ah dengan kaum
pria, maka shaf yang terbaik baginya adalah yang
paling akhir.
1. Sementara bila ia shalat dengan diimami wanita
lain (berjama’ah dengan sesama kaum wanita)
atau bersama jama’ah namun ada pemisah
antara keduanya, maka shaf yang terbaik baginya
adalah yang paling awal sama dengan shaf yang
terbaik bagi pria, karena tidak ada kekhawatiran
terjadinya fitnah antara wanita dan pria. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
ْوَل َنْوُمَلْعَي اَم يِف
ِّفَّصلا ِمَّدَقُمْلا
اْوُمَهَتْسَال
“Seandainya mereka mengetahui keutamaan
(pahala) yang diperoleh dalam shaf yang
pertama, niscaya mereka akan mengundi untuk
mendapatkannya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no.
721 dan Muslim no. 437)
Haruskah Wanita Meluruskan Shafnya?
Saudariku muslimah…
Ketentuan yang diberlakukan syariat ini terhadap
shaf pria juga berlaku bagi shaf wanita dari sisi
keharusan meluruskan shaf, mengaturnya,
memenuhi shaf yang awal terlebih dahulu
kemudian shaf berikutnya, serta menutup
kekosongan yang ada dalam shaf. (Al-Muntaqa
min Fatawa Fadhilatusy Syaikh Shalih bin
Fauzan, 3/157,158)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan:
اْوُّوَس ْمُكَفْوُفُص، َّنِإَف
َةَيِوْسَت ِّفَّصلا ْنِم ِماَمَت
ِةَالَّصلا
“Luruskan shaf-shaf kalian, karena kelurusan shaf
termasuk kesempurnaan shalat.” (Shahih, Al-
Bukhari no. 723 dan Muslim no. 433)
Beliau juga bersabda:
َّنُّوَسُتَل ْمُكَفْوُفُص ْوَأ
َّنَفِلاَخُيَل ُهللا َنْيَب
ْمُكِهْوُخُو
“Hendaknya kalian bersungguh-sungguh
meluruskan shaf-shaf kalian atau Allah sungguh-
sungguh akan memperselisihkan di antara wajah-
wajah kalian1.” (HR. Al-Bukhari no. 717 dan
Muslim no. 436)
Bila para wanita ini diimami oleh seorang wanita,
maka hendaknya sebelum shalat ditegakkan
imam menghadap ke makmumnya untuk
meluruskan shaf mereka, dengan dalil hadits
Anas radhiyallahu ‘anhu. Ia mengatakan:
ِتَمْيِقُأ ُةَالَّصلا َلَبْقَأَف
اَنْيَلَع ُلْوُسَر ِهللا ىَّلَص
ُهللا ِهْيَلَع َمَّلَسَو
ِهِهْجَوَب َلاَقَف: اْوُمْيِقَأ
ْمُكَفْوُفُص اْوُّصاَرَتَو
يِّنِإَف ْمُكاَرَأ ْنِم ِءاَرَو
يِرْهَظ
“Diserukan iqamah untuk shalat, maka Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadap ke arah
kami dengan wajahnya, seraya berkata: ‘Luruskan
shaf-shaf kalian dan rapatkanlah (saling
menempel tanpa membiarkan adanya celah)
karena sesungguhnya aku melihat kalian dari
belakang punggungku.’” (HR. Al-Bukhari no. 719
dan Muslim no. 434)
Yang dimaksud dengan meluruskan shaf adalah
meratakan barisan orang-orang yang berdiri di
dalam shaf tersebut sehingga tidak ada yang
terlalu maju atau terlalu mundur, atau menutup
adanya celah di dalam barisan tersebut (Fathul
Bari, 2/254). Hal ini bisa dilakukan dengan
menempelkan pundak dengan pundak dan mata
kaki dengan mata kaki, sebagaimana amalan para
shahabat yang disebutkan oleh An-Nu’man bin
Basyir radhiyallahu ‘anhu: “Aku melihat salah
seorang dari kami menempelkan mata kakinya
dengan mata kaki temannya.” (HR. Al-Bukhari
dalam Kitabul Adzan; bab Ilzaqil Mankib bil Mankib
wal Qadam bil Qadam fish Shaf)
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan untuk meluruskan shaf, Anas bin
Malik radhiyallahu ‘anhu menyaksikan: “Adalah
salah seorang dari kami menempelkan
pundaknya dengan pundak temannya dan
menempelkan kakinya dengan kaki
temannya.” (HR. Al-Bukhari no. 725)
Bagaimana Bila Wanita Shalat Sendirian
dengan Jama’ah Pria?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
diundang makan di rumah Anas bin Malik
radhiyallahu ‘anhu. Selesainya dari memakan
hidangan yang disajikan, beliau mengajak
penghuni rumah untuk shalat bersama beliau.
Maka Anas segera membersihkan tikar milik
mereka yang telah menghitam karena lama
dipakai dengan memercikkannya dengan air,
setelah itu ia hamparkan untuk Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Anas mengabarkan:
اَنْيَّلَص اَنَأ ٌمْيِتَيَو يِف
اَنِتْيَب َفْلَخ ِّيِبَّنلا
ىَّلَص ُهللا ِهْيَلَع َمَّلَسَو
يِّمُأَو -ُّمُأ ٍمْيَلُس- اَنَفْلَخ
“Aku bersama seorang anak yatim di rumah kami
pernah shalat di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, sedang ibuku -Ummu Sulaim- berdiri
di belakang kami.” (HR. Al-Bukhari no. 380, 727
dan Muslim no. 658)
Hadits di atas menunjukkan seorang wanita bila
shalat bersama kaum pria maka posisinya di
belakang shaf mereka. Apabila tidak ada
bersamanya wanita lain, dalam arti hanya satu
wanita yang ikut dalam jama’ah tersebut, maka
dia berdiri sendiri di shaf paling akhir dari shaf
yang ada, demikian dikatakan Al-Imam An-
Nawawi rahimahullahu dalam Syarah Shahih
Muslim (5/163).
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullahu
berkata: “Dalam hadits ini menunjukkan wanita
tidaklah berdiri satu shaf dengan kaum pria. Asal
dari perkara ini adalah kekhawatiran terfitnahnya
kaum pria dengan wanita….” (Fathul Bari, 2/261)
Bolehkah Seorang Pria Mengimami Seorang
Wanita?
Saudariku muslimah…
Mungkin akan timbul pertanyaan: bolehkah
seorang pria mengimami, yakni mereka hanya
shalat berdua? Maka jawaban dari pertanyaan di
atas bisa kita rinci berikut ini. Apabila wanita itu
bukan mahramnya, maka haram ia berduaan
(khalwat) dengannya walaupun untuk tujuan
shalat. Hal ini perlu kita tekankan karena mungkin
ada anggapan shalat itu ibadah sehingga tidak
dipermasalahkan adanya khalwat ketika
mengerjakannya. Maka ini jelas anggapan yang
salah. Dalil dalam permasalahan ini adalah hadits
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
umum:
َال َّنَوُلْخَي ٌلُجَر ٍةَأَرْماِب
َّالِإ َعَم يِذ ٍمَرْحَم
“Tidak boleh seorang laki-laki bersepi-sepi dengan
seorang wanita kecuali bila wanita itu didampingi
mahramnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5233 dan
Muslim no. 1341)
Ulama kita pun telah menyatakan keharaman
akan hal ini, berbeda halnya bila wanita tersebut
adalah mahramnya atau istrinya maka dibolehkan
baginya shalat berdua dengan si wanita. (Al-
Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, 4/277)
Ibnu Qudamah rahimahullahu berkata: “Tidak
mengapa seorang pria mengimami wanita-
wanita yang merupakan mahramnya
sebagaimana bolehnya ia mengimami para
wanita bersama jama’ah pria. Karena (di jaman
nubuwwah) para wanita biasa shalat bersama
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid, Nabi
sendiri pernah mengimami istri-istrinya dan
pernah pula mengimami Anas bin Malik bersama
ibunya di rumah mereka.” (Al-Mughni, 2/200)
Wallahu ta’ala a’lam bishshawab.
Shaf Wanita di dalam Shalat
Ketika disampaikan kepada Asy-Syaikh Shalih bin
Fauzan bin ‘Abdullah Al-Fauzan hafizhahullah
bahwasanya dalam bulan Ramadhan kaum
wanita yang ikut hadir shalat berjama’ah di
masjid memilih menempati shaf yang akhir. Akan
tetapi shaf wanita yang pertama terpisah jauh dari
shafnya jama’ah pria. Karena mayoritas wanita
menempati shaf akhir ini, sehingga shaf penuh
sesak dan menutup jalan bagi wanita lainnya
yang hendak menuju ke shaf pertama. Mereka
melakukan hal ini karena mengamalkan sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Shaf wanita
yang paling utama adalah yang paling akhir.”
Beliau hafizhahullah memberikan jawaban
terhadap permasalahan di atas dengan
mengatakan: “Dalam permasalahan ini ada
perincian. Apabila jama’ah wanita (yang ikut hadir
di masjid) shalat tanpa ada penghalang (penutup)
antara mereka dengan jama’ah pria maka
keaadan mereka sebagaimana ditunjukkan dalam
hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Sebaik-baik shaf wanita adalah shaf yang paling
akhir.” Karena shaf yang akhir itu jauh dari kaum
pria sedangkan shaf yang depan dekat dengan
kaum pria.”
Adapun bila mereka shalat dengan diletakkan
penghalang/penutup antara mereka dengan pria,
maka yang lebih utama bagi mereka adalah shaf
yang terdepan karena hilangnya (tidak adanya)
perkara yang dikhawatirkan, dalam hal ini fitnah
antara lawan jenis. Sehingga keberadaan shaf
mereka sama dengan shaf pria, yang paling
depan adalah yang terbaik, selama diletakkan
penutup (penghalang) antara shaf mereka dengan
shaf pria. Dan shaf-shaf wanita wajib diatur
sebagaimana shaf-shaf pria, mereka
sempurnakan/penuhi dulu shaf yang terdepan,
baru yang di belakangnya dan demikian
seterusnya. (Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah,
1/323/324)
Wallahu a’lam.
Footnote:
1 Maknanya, kata Al-Imam An-Nawawi
rahimahullahu, yaitu Allah akan meletakkan
permusuhan dan kebencian di antara kalian dan
berselisihnya hati-hati kalian. Karena berselisihnya
mereka dalam shaf adalah perselisihan secara
dzahir yang akan menjadi sebab perselisihan
secara batin. (Syarah Shahih Muslim, 4/157)
(Dinukil dari Majalah Asy Syariah, Vol. I/No. 05/
Dzulqa’dah 1424H/Februari 2004M, judul: Menata
Shaf, Sunnah Rasul yang Terabaikan, hal. 68-71,
untuk http://akhwat.web.id)

Menjaga Lisan dari Mengutuk atau Melaknat

Penulis: Al Ustadzah Ummu Ishaq Al Atsariyah
Kata laknat yang sudah menjadi bagian dari
bahasa Indonesia memiliki dua makna dalam
bahasa Arab :
Pertama : Bermakna mencerca.
Kedua : Bermakna pengusiran dan penjauhan dari
rahmat Allah.
Ucapan laknat ini mungkin terlalu sering kita
dengar dari orang-orang di lingkungan kita dan
sepertinya saling melaknat merupakan perkara
yang biasa bagi sementara orang, padahal
melaknat seorang Mukmin termasuk dosa besar.
Tsabit bin Adl Dlahhak radhiallahu ‘anhu berkata :
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
bersabda : ‘Siapa yang melaknat seorang Mukmin
maka ia seperti membunuhnya.’ ” (HR. Bukhari
dalam Shahihnya 10/464)
Ucapan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam :
((“Fahuwa Kaqatlihi”/Maka ia seperti
membunuhnya)) dijelaskan oleh Al Hafidh Ibnu
Hajar Al Asqalani rahimahullah dalam kitabnya
Fathul Bari : “Karena jika ia melaknat seseorang
maka seakan-akan ia mendoakan kejelekan bagi
orang tersebut dengan kebinasaan.”
Sebagian wanita begitu mudah melaknat orang
yang ia benci bahkan orang yang sedang
berpekara dengannya, sama saja apakah itu
anaknya, suaminya, hewan atau selainnya.
Sangat tidak pantas bila ada seseorang yang
mengaku dirinya Mukmin namun lisannya terlalu
mudah untuk melaknat. Sebenarnya perangai
jelek ini bukanlah milik seorang Mukmin,
sebagaimana Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
bersabda :
“Bukanlah seorang Mukmin itu seorang yang
suka mencela, tidak pula seorang yang suka
melaknat, bukan seorang yang keji dan kotor
ucapannya.” (HR. Bukhari dalam Kitabnya Al
Adabul Mufrad halaman 116 dari hadits Abdullah
bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu. Hadits ini disebutkan
oleh Syaikh Muqbil bin Hadi Al Wadi’i
hafidhahullah dalam Kitabnya Ash Shahih Al
Musnad 2/24)
Dan melaknat itu bukan pula sifatnya orang-orang
yang jujur dalam keimanannya (shiddiq), karena
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Tidak pantas bagi seorang shiddiq untuk menjadi
seorang yang suka melaknat.” (HR. Muslim no.
2597)
Pada hari kiamat nanti, orang yang suka melaknat
tidak akan dimasukkan dalam barisan para saksi
yang mempersaksikan bahwa Rasul mereka telah
menyampaikan risalah dan juga ia tidak dapat
memberi syafaat di sisi Allah guna memintakan
ampunan bagi seorang hamba. Nabi Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam bersabda : “Orang yang suka
melaknat itu bukanlah orang yang dapat memberi
syafaat dan tidak pula menjadi saksi pada hari
kiamat.” (HR. Muslim dalam Shahihnya no. 2598
dari Abi Darda radhiallahu ‘anhu)
Perangai yang buruk ini sangat besar bahayanya
bagi pelakunya sendiri. Bila ia melaknat
seseorang, sementara orang yang dilaknat itu
tidak pantas untuk dilaknat maka laknat itu
kembali kepadanya sebagai orang yang
mengucapkan.
Imam Abu Daud rahimahullah meriwayatkan dari
hadits Abu Darda radhiallahu ‘anhu bahwasannya
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Apabila seorang hamba melaknat sesuatu maka
laknat tersebut naik ke langit, lalu tertutuplah
pintu-pintu langit. Kemudian laknat itu turun ke
bumi lalu ia mengambil ke kanan dan ke kiri.
Apabila ia tidak mendapatkan kelapangan, maka ia
kembali kepada orang yang dilaknat jika memang
berhak mendapatkan laknat dan jika tidak ia
kembali kepada orang yang mengucapkannya.”
Kata Al Hafidh Ibnu Hajar hafidhahullah tentang
hadits ini : “Sanadnya jayyid (bagus). Hadits ini
memiliki syahid dari hadits Ibnu Mas’ud
radhiallahu ‘anhu dengan sanad yang hasan. Juga
memiliki syahid lain yang dikeluarkan oleh Abu
Daud dan Tirmidzi dari hadits Ibnu Abbas
radhiallahu ‘anhuma. Para perawinya adalah
orang-orang kepercayaan (tsiqah), akan tetapi
haditsnya mursal.”
Ada beberapa hal yang dikecualikan dalam
larangan melaknat ini yakni kita boleh melaknat
para pelaku maksiat dari kalangan Muslimin
namun tidak secara ta’yin (menunjuk langsung
dengan menyebut nama atau pelakunya). Tetapi
laknat itu ditujukan secara umum, misal kita
katakan : “Semoga Allah melaknat para pembegal
jalanan itu… .”
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam sendiri
telah melaknat wanita yang menyambung
rambut dan wanita yang minta disambungkan
rambutnya.
Beliau juga melaknat laki-laki yang menyerupai
wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki dan
masih banyak lagi. Berikut ini kami sebutkan
beberapa haditsnya : “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
Wa Sallam melaknat wanita yang menyambung
rambutnya (dengan rambut palsu/konde) dan
wanita yang minta disambungkan
rambutnya.” (HR. Bukhari dan Muslim dalam
Shahih keduanya)
Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mengabarkan :
“Allah melaknat wanita yang membuat tato,
wanita yang minta dibuatkan tato, wanita yang
mencabut alisnya, wanita yang minta dicabutkan
alisnya, dan melaknat wanita yang mengikir
giginya untuk tujuan memperindahnya, wanita
yang merubah ciptaan Allah Azza wa Jalla.” (HR.
Bukhari dan Muslim dari shahabat Ibnu Mas’ud
radhiallahu ‘anhu)
“Allah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita
dan wanita yang menyerupai laki-laki.” (HR.
Bukhari dalam Shahihnya)
Dibolehkan juga melaknat orang kafir yang sudah
meninggal dengan menyebut namanya untuk
menerangkan keadaannya kepada manusia dan
untuk maslahat syar’iyah. Adapun jika tidak ada
maslahat syar’iyah maka tidak boleh karena Nabi
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Janganlah kalian mencaci orang-orang yang telah
meninggal karena mereka telah sampai/menemui
(balasan dari) apa yang dulunya mereka
perbuat.” (HR. Bukhari dalam Shahihnya dari
hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha)
Setelah kita mengetahui buruknya perangai ini
dan ancaman serta bahayanya yang bakal
diterima oleh pengucapnya, maka hendaklah kita
bertakwa kepada Allah Ta’ala. Janganlah kita
membiasakan lisan kita untuk melaknat karena
kebencian dan ketidaksenangan pada seseorang.
Kita bertakwa kepada Allah Ta’ala dengan
menjaga dan membersihkan lisan kita dari
ucapan yang tidak pantas dan kita basahi selalu
dengan kalimat thayyibah. Wallahu a’lam bis
shawwab.
(Dikutip dari MUSLIMAH Edisi 37/1421 H/2001 M
Rubrik Akhlaq, MENJAGA LISAN DARI MELAKNAT
Oleh : Ummu Ishaq Al Atsariyah. Terjemahan
dari Kitab Nasihati lin Nisa’ karya Ummu Abdillah
bintu Syaikh Muqbil Al Wadi’iyyah dengan
beberapa perubahan dan tambahan)
Sumber: http://www.darussalaf.or.id

Tuesday, January 4, 2011

Shalatnya Abu Bakar Ash Shiddiq

Shalatnya Abu Bakar Ash Shiddiq

Beliau radhiyallahu ‘anhu
termasuk kalangan orang-orang
shalih, sekaligus salah satu dari
sahabat utama yang dekat
dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
imam yang utama dari sejumlah sahabat yang lainnya.
Beliau telah menghabiskan hidup dan segenap jiwa raganya,
harta kekayaannya serta waktunya untuk diinfakkan dan
berjihad di jalan Allah. Termasuk memberikan pelayanan
dalam dakwah dan penyampaian wahyu.

Dialah sahabat Abu Bakar yang nama lengkapnya Abdullah
bin Abi Quhafah Al Qurasyi At Tamimi yang terkenal
dengan sebutan Abu Bakar Asy Syiddiq.
Beliau sangat mudah mencucurkan air mata saat membaca
Al Quran dalam shalatnya. Hal ini disebabkan karena
banyaknya pengalaman hidup beliau bersama Al Quran.
Sehingga beliau tidak mampu menahan perasaannya dari
kejadian kejadian yang pernah dialaminya ketika membaca
Al Quran.

Sebagaimana yang dijelaskan dalam hadits Aisyah
radhiyallahu ‘anha ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam berkata “Mereka melalui Abu Bakar yang sedang
shalat bersama dengan yang lainnya.” Aisyah menuturkan,
Saya pun berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam
“Wahai Rasulullah, sesungguhnyaAbu Bakar adalah seorang
laki laki yang lembut hatinya, apabila telah membaca Al
Quran beliau tidak mampu menahan cucuran air mata dari
keduanya. ” (HR Muslim)
Adapun kekhusyukan beliau serta tangisan beliau di dalam
shalat, benar-benar berpengaruh besar kepada orang-orang
di sekelilingnya.Hal ini menyebabkan orang-orang Quraisy
yang menguasai Mekah pada waktu itu mengajukan
sejumlah syarat kepada beliau ketika beliau menunaikan
shalat.
Akhirnya kaum kafir Quraisy menemui Ibnu Ad Daghinah
yang saat itu memberikan jaminan keamana kepada Abu
BakarAsh Shiddiq. Mereka berkata kepadanya, “Wahai Ibnu
Ad Daghinah, suruhlah Abu Bakar untuk beribadah kepada
Rabbnya di rumahnya, hendaklah dia shalat dan membaca
apa yang dia kehendaki dan janganlah dia menyakiti kami.
Sesungguhnya kami khawatir perkara itu menjadi fitnah bagi
anak dan istri kami. ”
Ibnu Ad Daghinah pun mengatakan hal itu kepada Abu
Bakar, sehingga beliau mulai beribadah kepada Allah di
rumahnya, dengan tidak mengeraskan shalatnya begitupun
dengan bacaannya.

Kemudian Abu Bakar mulai membangun sebuah masjid di
halaman rumahnya, beliau shalat dan membaca Al Quran di
masjid itu. Pada saat itu, berkumpullah istri-istri dari
kalangan orang musyrik dan anak-anak mereka, mereka
begitu kagum akan shalat yang didirikan Abu Bakar dengan
terus memperhatikannya. Abu Bakar adalah seorang laki laki
yang sering menangis, beliau tidak bisa menahan air
matanya ketika membaca AL Quran (Kisah ini diriwayatkan
oleh Al Bukhari dan Ibnu Hiban)
Sahl bin Sa’d dia berkata, “Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu tidak
pernah melirik ketika dalam shalat.” (Fadhail Ash Shahabat
I/208, Imam Ahmad)
Mujahis menuturkan, “Keadaan Ibnu Az Zubair ketika dia
berdiri menunaikan shalat, seperti sebuah kayu yang kokoh
(tidak bergerak). ” Dikisahkan pula bahwa Abu Bakar pun
seperti itu ketika shalat. Abdurrazaq berkata, “Penduduk
Mekah menuturkan bahwa Ibnu Zubair mencontohshalat
dari Abu Bakar, dan Abu Bakar mencontohnya dari Nabi
Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Fadhail Ash
Shahabat I/208, Imam Ahmad)
***

artikel muslimah.or.id

disalin dari buku Shalatnya Para Kekasih Allah karya Ahmad
Musthafa Ath Thathawi (Terjemah dari buku Shalat Ash
Shalihin wa Qishash Al ‘Abidin)

DOSA MENINGGALKAN SHOLAT

Dosa Meninggalkan Shalat Lima Waktu Lebih Besar
Dibandingkan Dosa Besar Lainnya
Para pembaca yang semoga selalu dirahmati oleh
Allah Ta ’ala. Kita semua pasti tahu bahwa shalat
adalah perkara yang amat penting. Bahkan shalat
termasuk salah satu rukun Islam yang utama yang
bisa membuat bangunan Islam tegak. Namun,
realita yang ada di tengah umat ini sungguh sangat
berbeda. Kalau kita melirik sekeliling kita, ada saja
orang yang dalam KTP-nya mengaku Islam, namun
biasa meninggalkan rukun Islam yang satu ini.
Mungkin di antara mereka, ada yang hanya
melaksanakan shalat sekali sehari, itu pun kalau
ingat. Mungkin ada pula yang hanya melaksanakan
shalat sekali dalam seminggu yaitu shalat Jum ’at.
Yang lebih parah lagi, tidak sedikit yang hanya ingat
dan melaksanakan shalat dalam setahun dua kali
yaitu ketika Idul Fithri dan Idul Adha saja.
Memang sungguh prihatin dengan kondisi umat
saat ini. Banyak yang mengaku Islam di KTP,
namun kelakuannya semacam ini. Oleh karena itu,
pada tulisan yang singkat ini kami akan mengangkat
pembahasan mengenai hukum meninggalkan
shalat. Semoga Allah memudahkannya dan
memberi taufik kepada setiap orang yang membaca
tulisan ini.
Para ulama sepakat bahwa meninggalkan shalat
termasuk dosa besar yang lebih besar dari dosa
besar lainnya.
Ibnu Qayyim Al Jauziyah –rahimahullah-
mengatakan, “Kaum muslimin bersepakat bahwa
meninggalkan shalat lima waktu dengan sengaja
adalah dosa besar yang paling besar dan dosanya
lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta
orang lain, berzina, mencuri, dan minum minuman
keras. Orang yang meninggalkannya akan
mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta
mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.” (Ash
Sholah, hal. 7)
Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Al Kaba’ir, Ibnu
Hazm –rahimahullah- berkata, “Tidak ada dosa
setelah kejelekan yang paling besar daripada dosa
meninggalkan shalat hingga keluar waktunya dan
membunuh seorang mukmin tanpa alasan yang
bisa dibenarkan. ” (Al Kaba’ir, hal. 25)
Adz Dzahabi –rahimahullah- juga mengatakan,
“Orang yang mengakhirkan shalat hingga keluar
waktunya termasuk pelaku dosa besar. Dan yang
meninggalkan shalat secara keseluruhan -yaitu satu
shalat saja- dianggap seperti orang yang berzina
dan mencuri. Karena meninggalkan shalat atau luput
darinya termasuk dosa besar. Oleh karena itu, orang
yang meninggalkannya sampai berkali-kali termasuk
pelaku dosa besar sampai dia bertaubat.
Sesungguhnya orang yang meninggalkan shalat
termasuk orang yang merugi, celaka dan termasuk
orang mujrim (yang berbuat dosa). ” (Al Kaba’ir, hal.
26-27)
Apakah orang yang meninggalkan shalat, kafir alias
bukan muslim?
Dalam point sebelumnya telah dijelaskan, para
ulama bersepakat bahwa meninggalkan shalat
termasuk dosa besar bahkan lebih besar dari dosa
berzina dan mencuri. Mereka tidak berselisih
pendapat dalam masalah ini. Namun, yang menjadi
masalah selanjutnya, apakah orang yang
meninggalkan shalat masih muslim ataukah telah
kafir?
Asy Syaukani -rahimahullah- mengatakan bahwa
tidak ada beda pendapat di antara kaum muslimin
tentang kafirnya orang yang meninggalkan shalat
karena mengingkari kewajibannya. Namun apabila
meninggalkan shalat karena malas dan tetap
meyakini shalat lima waktu itu wajib -sebagaimana
kondisi sebagian besar kaum muslimin saat ini-,
maka dalam hal ini ada perbedaan pendapat (Lihat
Nailul Author, 1/369).
Mengenai meninggalkan shalat karena malas-
malasan dan tetap meyakini shalat itu wajib, ada tiga
pendapat di antara para ulama mengenai hal ini.
Pendapat pertama mengatakan bahwa orang yang
meninggalkan shalat harus dibunuh karena
dianggap telah murtad (keluar dari Islam). Pendapat
ini adalah pendapat Imam Ahmad, Sa ’id bin Jubair,
‘Amir Asy Sya’bi, Ibrohim An Nakho’i, Abu ‘Amr, Al
Auza’i, Ayyub As Sakhtiyani, ‘Abdullah bin Al
Mubarrok, Ishaq bin Rohuwyah, ‘Abdul Malik bin
Habib (ulama Malikiyyah), pendapat sebagian ulama
Syafi ’iyah, pendapat Imam Syafi’i (sebagaimana
dikatakan oleh Ath Thohawiy), pendapat Umar bin
Al Khothob (sebagaimana dikatakan oleh Ibnu
Hazm), Mu ’adz bin Jabal, ‘Abdurrahman bin ‘Auf,
Abu Hurairah, dan sahabat lainnya.
Pendapat kedua mengatakan bahwa orang yang
meninggalkan shalat dibunuh dengan hukuman
had, namun tidak dihukumi kafir. Inilah pendapat
Malik, Syafi ’i, dan salah salah satu pendapat Imam
Ahmad.
Pendapat ketiga mengatakan bahwa orang yang
meninggalkan shalat karena malas-malasan adalah
fasiq (telah berbuat dosa besar) dan dia harus
dipenjara sampai dia mau menunaikan shalat. Inilah
pendapat Hanafiyyah. (Al Mawsu ’ah Al Fiqhiyah Al
Kuwaitiyah, 22/186-187)
Jadi, intinya ada perbedaan pendapat dalam masalah
ini di antara para ulama termasuk pula ulama
madzhab. Bagaimana hukum meninggalkan shalat
menurut Al Qur ’an dan As Sunnah? Silakan simak
pembahasan selanjutnya.
Pembicaraan orang yang meninggalkan shalat
dalam Al Qur ’an
Banyak ayat yang membicarakan hal ini dalam Al
Qur ’an, namun yang kami bawakan adalah dua ayat
saja.
Allah Ta’ala berfirman,
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا
الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ
فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا إِلَّا مَنْ
تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang
jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan
memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka
kelak akan menemui al ghoyya, kecuali orang yang
bertaubat, beriman dan beramal saleh. ” (QS.
Maryam: 59-60)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma mengatakan
bahwa ‘ghoyya’ dalam ayat tersebut adalah sungai
di Jahannam yang makanannya sangat menjijikkan,
yang tempatnya sangat dalam. (Ash Sholah, hal. 31)
Dalam ayat ini, Allah menjadikan tempat ini –yaitu
sungai di Jahannam- sebagai tempat bagi orang
yang menyiakan shalat dan mengikuti syahwat
(hawa nafsu). Seandainya orang yang meninggalkan
shalat adalah orang yang hanya bermaksiat biasa,
tentu dia akan berada di neraka paling atas,
sebagaimana tempat orang muslim yang berdosa.
Tempat ini (ghoyya) yang merupakan bagian neraka
paling bawah, bukanlah tempat orang muslim,
namun tempat orang-orang kafir.
Pada ayat selanjutnya juga, Allah telah mengatakan,
إِلَّا مَنْ تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ
صَالِحًا
“Kecuali orang yang bertaubat, beriman dan
beramal saleh.” Maka seandainya orang yang
menyiakan shalat adalah mukmin, tentu dia tidak
dimintai taubat untuk beriman"
Dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman,
فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ
وَآَتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي
الدِّينِ
“Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan
menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah
saudara-saudaramu seagama. ” (QS. At Taubah [9]:
11).
Dalam ayat ini, Allah Ta’ala mengaitkan
persaudaraan seiman dengan mengerjakan shalat.
Berarti jika shalat tidak dikerjakan, bukanlah saudara
seiman. Konsekuensinya orang yang meninggalkan
shalat bukanlah mukmin karena orang mukmin itu
bersaudara sebagaimana Allah Ta ’ala berfirman,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya
bersaudara.” (QS. Al Hujurat [49]: 10)
Pembicaraan orang yang meninggalkan shalat
dalam Hadits
Terdapat beberapa hadits yang membicarakan
masalah ini.
Dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ
وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ
“(Pembatas) antara seorang muslim dan kesyirikan
serta kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR.
Muslim no. 257)
Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu -bekas budak Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam-, beliau mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بَيْنَ العَبْدِ وَبَيْنَ الكُفْرِ
وَالإِيْمَانِ الصَّلَاةُ فَإِذَا
تَرَكَهَا فَقَدْ أَشْرَكَ
“Pemisah Antara seorang hamba dengan kekufuran
dan keimanan adalah shalat. Apabila dia
meninggalkannya, maka dia melakukan
kesyirikan. ” (HR. Ath Thobariy dengan sanad
shohih. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini
shohih. Lihat Shohih At Targib wa At Tarhib no.
566).
Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
رَأْسُ الأَمْرِ الإِسْلاَمُ وَعَمُودُهُ
الصَّلاَةُ
“Inti (pokok) segala perkara adalah Islam dan
tiangnya (penopangnya) adalah shalat.” (HR.
Tirmidzi no. 2825. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al
Albani dalam Shohih wa Dho ’if Sunan At Tirmidzi).
Dalam hadits ini, dikatakan bahwa shalat dalam
agama Islam ini adalah seperti penopang (tiang)
yang menegakkan kemah. Kemah tersebut bisa
roboh (ambruk) dengan patahnya tiangnya. Begitu
juga dengan islam, bisa ambruk dengan hilangnya
shalat.
Para sahabat ber-ijma’ (bersepakat) bahwa
meninggalkan shalat adalah kafir
Umar radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
لاَ إِسْلاَمَ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ
“Tidaklah disebut muslim bagi orang yang
meninggalkan shalat.”
Dari jalan yang lain, Umar radhiyallahu ‘anhu
berkata,
ولاَحَظَّ فِي الاِسْلاَمِ لِمَنْ تَرَكَ
الصَّلاَةَ
“Tidak ada bagian dalam Islam bagi orang yang
meninggalkan shalat.” (Dikeluarkan oleh Malik. Begitu
juga diriwayatkan oleh Sa’ad di Ath Thobaqot, Ibnu
Abi Syaibah dalam Al Iman. Diriwayatkan pula oleh
Ad Daruquthniy dalam kitab Sunan-nya, juga Ibnu
‘ Asakir. Hadits ini shohih, sebagaimana dikatakan
oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil no. 209).
Saat Umar mengatakan perkataan di atas tatkala
menjelang sakratul maut, tidak ada satu orang
sahabat pun yang mengingkarinya. Oleh karena itu,
hukum bahwa meninggalkan shalat adalah kafir
termasuk ijma ’ (kesepakatan) sahabat sebagaimana
yang dikatakan oleh Ibnul Qoyyim dalam kitab Ash
Sholah.
Mayoritas sahabat Nabi menganggap bahwa orang
yang meninggalkan shalat dengan sengaja adalah
kafir sebagaimana dikatakan oleh seorang tabi ’in,
Abdullah bin Syaqiq. Beliau mengatakan,
كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ -صلى الله عليه
وسلم- لاَ يَرَوْنَ شَيْئًا مِنَ
الأَعْمَالِ تَرْكُهُ كُفْرٌ غَيْرَ
الصَّلاَةِ
“Dulu para shahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam tidaklah pernah menganggap suatu amal
yang apabila ditinggalkan menyebabkan kafir kecuali
shalat. ” Perkataan ini diriwayatkan oleh At Tirmidzi
dari Abdullah bin Syaqiq Al ‘Aqliy seorang tabi’in dan
Hakim mengatakan bahwa hadits ini bersambung
dengan menyebut Abu Hurairah di dalamnya. Dan
sanad (periwayat) hadits ini adalah shohih. (Lihat Ats
Tsamar Al Mustathob fi Fiqhis Sunnah wal Kitab, hal.
52)
Dari pembahasan terakhir ini terlihat bahwasanya Al
Qur ’an, hadits dan perkataan sahabat bahkan ini
adalah ijma’ (kesepakatan) mereka menyatakan
bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan
sengaja adalah kafir (keluar dari Islam). Itulah
pendapat yang terkuat dari pendapat para ulama
yang ada.
Ibnul Qayyim mengatakan, “Tidakkah seseorang itu
malu dengan mengingkari pendapat bahwa orang
yang meninggalkan shalat adalah kafir, padahal hal
ini telah dipersaksikan oleh Al Kitab (Al Qur ’an), As
Sunnah dan kesepakatan sahabat. Wallahul
Muwaffiq (Hanya Allah-lah yang dapat memberi
taufik). ” (Ash Sholah, hal. 56)
Berbagai kasus orang yang meninggalkan shalat
[Kasus Pertama] Kasus ini adalah meninggalkan
shalat dengan mengingkari kewajibannya
sebagaimana mungkin perkataan sebagian orang,
“ Sholat oleh, ora sholat oleh.” [Kalau mau shalat
boleh-boleh saja, tidak shalat juga tidak apa-apa].
Jika hal ini dilakukan dalam rangka mengingkari
hukum wajibnya shalat, orang semacam ini
dihukumi kafir tanpa ada perselisihan di antara para
ulama.
[Kasus Kedua] Kasus kali ini adalah meninggalkan
shalat dengan menganggap gampang dan tidak
pernah melaksanakannya. Bahkan ketika diajak
untuk melaksanakannya, malah enggan. Maka orang
semacam ini berlaku hadits-hadits Nabi shallallahu
‘ alaihi wa sallam yang menunjukkan kafirnya orang
yang meninggalkan shalat. Inilah pendapat Imam
Ahmad, Ishaq, mayoritas ulama salaf dari shahabat
dan tabi ’in.
[Kasus Ketiga] Kasus ini yang sering dilakukan kaum
muslimin yaitu tidak rutin dalam melaksanakan
shalat yaitu kadang shalat dan kadang tidak. Maka
dia masih dihukumi muslim secara zhohir (yang
nampak pada dirinya) dan tidak kafir. Inilah pendapat
Ishaq bin Rohuwyah yaitu hendaklah bersikap
lemah lembut terhadap orang semacam ini hingga
dia kembali ke jalan yang benar. Wal ‘ibroh
bilkhotimah [Hukuman baginya dilihat dari keadaan
akhir hidupnya].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Jika
seorang hamba melakukan sebagian perintah dan
meninggalkan sebagian, maka baginya keimanan
sesuai dengan perintah yang dilakukannya. Iman itu
bertambah dan berkurang. Dan bisa jadi pada
seorang hamba ada iman dan nifak sekaligus. …
Sesungguhnya sebagian besar manusia bahkan
mayoritasnya di banyak negeri, tidaklah selalu
menjaga shalat lima waktu. Dan mereka tidak
meninggalkan secara total. Mereka terkadang shalat
dan terkadang meninggalkannya. Orang-orang
semacam ini ada pada diri mereka iman dan nifak
sekaligus. Berlaku bagi mereka hukum Islam secara
zhohir seperti pada masalah warisan dan
semacamnya. Hukum ini (warisan) bisa berlaku bagi
orang munafik tulen. Maka lebih pantas lagi berlaku
bagi orang yang kadang shalat dan kadang
tidak. ” (Majmu’ Al Fatawa, 7/617)
[Kasus Keempat] Kasus ini adalah bagi orang yang
meninggalkan shalat dan tidak mengetahui bahwa
meninggalkan shalat membuat orang kafir. Maka
hukum bagi orang semacam ini adalah
sebagaimana orang jahil (bodoh). Orang ini tidaklah
dikafirkan disebabkan adanya kejahilan pada dirinya
yang dinilai sebagai faktor penghalang untuk
mendapatkan hukuman.
[Kasus Kelima] Kasus ini adalah untuk orang yang
mengerjakan shalat hingga keluar waktunya. Dia
selalu rutin dalam melaksanakannya, namun sering
mengerjakan di luar waktunya. Maka orang
semacam ini tidaklah kafir, namun dia berdosa dan
perbuatan ini sangat tercela sebagaimana Allah
berfirman,
وَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ )4( الَّذِينَ هُمْ
عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ )5 )
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat,
(yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (QS.
Al Maa’un [107]: 4-5) (Lihat Al Manhajus Salafi ‘inda
Syaikh Nashiruddin Al Albani, 189-190)
Penutup
Sudah sepatutnya kita menjaga shalat lima waktu.
Barangsiapa yang selalu menjaganya, berarti telah
menjaga agamanya. Barangsiapa yang sering
menyia-nyiakannya, maka untuk amalan lainnya
akan lebih disia-siakan lagi.
Amirul Mukminin, Umar bin Al Khoththob –
radhiyallahu ‘anhu- mengatakan, “Sesungguhnya di
antara perkara terpenting bagi kalian adalah shalat.
Barangsiapa menjaga shalat, berarti dia telah
menjaga agama. Barangsiapa yang menyia-
nyiakannya, maka untuk amalan lainnya akan lebih
disia-siakan lagi. Tidak ada bagian dalam Islam, bagi
orang yang meninggalkan shalat. ”
Imam Ahmad –rahimahullah- juga mengatakan
perkataan yang serupa, “Setiap orang yang
meremehkan perkara shalat, berarti telah
meremehkan agama. Seseorang memiliki bagian
dalam Islam sebanding dengan penjagaannya
terhadap shalat lima waktu. Seseorang yang
dikatakan semangat dalam Islam adalah orang yang
betul-betul memperhatikan shalat lima waktu.
Kenalilah dirimu, wahai hamba Allah. Waspadalah!
Janganlah engkau menemui Allah, sedangkan
engkau tidak memiliki bagian dalam Islam. Kadar
Islam dalam hatimu, sesuai dengan kadar shalat
dalam hatimu. ” (Lihat Ash Sholah, hal. 12)
Oleh karena itu, seseorang bukanlah hanya meyakini
(membenarkan) bahwa shalat lima waktu itu wajib.
Namun haruslah disertai dengan melaksanakannya
(inqiyad). Karena iman bukanlah hanya dengan
tashdiq (membenarkan), namun harus pula disertai
dengan inqiyad (melaksanakannya dengan anggota
badan).
Ibnul Qoyyim mengatakan, “Iman adalah dengan
membenarkan (tashdiq). Namun bukan hanya
sekedar membenarkan (meyakini) saja, tanpa
melaksanakannya (inqiyad). Kalau iman hanyalah
membenarkan (tashdiq) saja, tentu iblis, Fir ’aun dan
kaumnya, kaum sholeh, dan orang Yahudi yang
membenarkan bahwa Muhammad adalah utusan
Allah (mereka meyakini hal ini sebagaimana mereka
mengenal anak-anak mereka), tentu mereka semua
akan disebut orang yang beriman (mu ’min-
mushoddiq).”
Al Hasan mengatakan, “Iman bukanlah hanya
dengan angan-angan (tanpa ada amalan). Namun
iman adalah sesuatu yang menancap dalam hati dan
dibenarkan dengan amal perbuatan. ” (Lihat Ash
Sholah, 35-36)
Semoga tulisan yang singkat ini bermanfaat bagi
kaum muslimin. Semoga kita dapat mengingatkan
kerabat, saudara dan sahabat kita mengenai bahaya
meninggalkan shalat lima waktu. Alhamdulillahilladzi
bi ni ’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala
nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa
sallam.
Sumber : http://www.muslim.or.id/