Tuesday, January 4, 2011

DOSA MENINGGALKAN SHOLAT

Dosa Meninggalkan Shalat Lima Waktu Lebih Besar
Dibandingkan Dosa Besar Lainnya
Para pembaca yang semoga selalu dirahmati oleh
Allah Ta ’ala. Kita semua pasti tahu bahwa shalat
adalah perkara yang amat penting. Bahkan shalat
termasuk salah satu rukun Islam yang utama yang
bisa membuat bangunan Islam tegak. Namun,
realita yang ada di tengah umat ini sungguh sangat
berbeda. Kalau kita melirik sekeliling kita, ada saja
orang yang dalam KTP-nya mengaku Islam, namun
biasa meninggalkan rukun Islam yang satu ini.
Mungkin di antara mereka, ada yang hanya
melaksanakan shalat sekali sehari, itu pun kalau
ingat. Mungkin ada pula yang hanya melaksanakan
shalat sekali dalam seminggu yaitu shalat Jum ’at.
Yang lebih parah lagi, tidak sedikit yang hanya ingat
dan melaksanakan shalat dalam setahun dua kali
yaitu ketika Idul Fithri dan Idul Adha saja.
Memang sungguh prihatin dengan kondisi umat
saat ini. Banyak yang mengaku Islam di KTP,
namun kelakuannya semacam ini. Oleh karena itu,
pada tulisan yang singkat ini kami akan mengangkat
pembahasan mengenai hukum meninggalkan
shalat. Semoga Allah memudahkannya dan
memberi taufik kepada setiap orang yang membaca
tulisan ini.
Para ulama sepakat bahwa meninggalkan shalat
termasuk dosa besar yang lebih besar dari dosa
besar lainnya.
Ibnu Qayyim Al Jauziyah –rahimahullah-
mengatakan, “Kaum muslimin bersepakat bahwa
meninggalkan shalat lima waktu dengan sengaja
adalah dosa besar yang paling besar dan dosanya
lebih besar dari dosa membunuh, merampas harta
orang lain, berzina, mencuri, dan minum minuman
keras. Orang yang meninggalkannya akan
mendapat hukuman dan kemurkaan Allah serta
mendapatkan kehinaan di dunia dan akhirat.” (Ash
Sholah, hal. 7)
Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Al Kaba’ir, Ibnu
Hazm –rahimahullah- berkata, “Tidak ada dosa
setelah kejelekan yang paling besar daripada dosa
meninggalkan shalat hingga keluar waktunya dan
membunuh seorang mukmin tanpa alasan yang
bisa dibenarkan. ” (Al Kaba’ir, hal. 25)
Adz Dzahabi –rahimahullah- juga mengatakan,
“Orang yang mengakhirkan shalat hingga keluar
waktunya termasuk pelaku dosa besar. Dan yang
meninggalkan shalat secara keseluruhan -yaitu satu
shalat saja- dianggap seperti orang yang berzina
dan mencuri. Karena meninggalkan shalat atau luput
darinya termasuk dosa besar. Oleh karena itu, orang
yang meninggalkannya sampai berkali-kali termasuk
pelaku dosa besar sampai dia bertaubat.
Sesungguhnya orang yang meninggalkan shalat
termasuk orang yang merugi, celaka dan termasuk
orang mujrim (yang berbuat dosa). ” (Al Kaba’ir, hal.
26-27)
Apakah orang yang meninggalkan shalat, kafir alias
bukan muslim?
Dalam point sebelumnya telah dijelaskan, para
ulama bersepakat bahwa meninggalkan shalat
termasuk dosa besar bahkan lebih besar dari dosa
berzina dan mencuri. Mereka tidak berselisih
pendapat dalam masalah ini. Namun, yang menjadi
masalah selanjutnya, apakah orang yang
meninggalkan shalat masih muslim ataukah telah
kafir?
Asy Syaukani -rahimahullah- mengatakan bahwa
tidak ada beda pendapat di antara kaum muslimin
tentang kafirnya orang yang meninggalkan shalat
karena mengingkari kewajibannya. Namun apabila
meninggalkan shalat karena malas dan tetap
meyakini shalat lima waktu itu wajib -sebagaimana
kondisi sebagian besar kaum muslimin saat ini-,
maka dalam hal ini ada perbedaan pendapat (Lihat
Nailul Author, 1/369).
Mengenai meninggalkan shalat karena malas-
malasan dan tetap meyakini shalat itu wajib, ada tiga
pendapat di antara para ulama mengenai hal ini.
Pendapat pertama mengatakan bahwa orang yang
meninggalkan shalat harus dibunuh karena
dianggap telah murtad (keluar dari Islam). Pendapat
ini adalah pendapat Imam Ahmad, Sa ’id bin Jubair,
‘Amir Asy Sya’bi, Ibrohim An Nakho’i, Abu ‘Amr, Al
Auza’i, Ayyub As Sakhtiyani, ‘Abdullah bin Al
Mubarrok, Ishaq bin Rohuwyah, ‘Abdul Malik bin
Habib (ulama Malikiyyah), pendapat sebagian ulama
Syafi ’iyah, pendapat Imam Syafi’i (sebagaimana
dikatakan oleh Ath Thohawiy), pendapat Umar bin
Al Khothob (sebagaimana dikatakan oleh Ibnu
Hazm), Mu ’adz bin Jabal, ‘Abdurrahman bin ‘Auf,
Abu Hurairah, dan sahabat lainnya.
Pendapat kedua mengatakan bahwa orang yang
meninggalkan shalat dibunuh dengan hukuman
had, namun tidak dihukumi kafir. Inilah pendapat
Malik, Syafi ’i, dan salah salah satu pendapat Imam
Ahmad.
Pendapat ketiga mengatakan bahwa orang yang
meninggalkan shalat karena malas-malasan adalah
fasiq (telah berbuat dosa besar) dan dia harus
dipenjara sampai dia mau menunaikan shalat. Inilah
pendapat Hanafiyyah. (Al Mawsu ’ah Al Fiqhiyah Al
Kuwaitiyah, 22/186-187)
Jadi, intinya ada perbedaan pendapat dalam masalah
ini di antara para ulama termasuk pula ulama
madzhab. Bagaimana hukum meninggalkan shalat
menurut Al Qur ’an dan As Sunnah? Silakan simak
pembahasan selanjutnya.
Pembicaraan orang yang meninggalkan shalat
dalam Al Qur ’an
Banyak ayat yang membicarakan hal ini dalam Al
Qur ’an, namun yang kami bawakan adalah dua ayat
saja.
Allah Ta’ala berfirman,
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ أَضَاعُوا
الصَّلَاةَ وَاتَّبَعُوا الشَّهَوَاتِ
فَسَوْفَ يَلْقَوْنَ غَيًّا إِلَّا مَنْ
تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا
“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang
jelek) yang menyia-nyiakan shalat dan
memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka
kelak akan menemui al ghoyya, kecuali orang yang
bertaubat, beriman dan beramal saleh. ” (QS.
Maryam: 59-60)
Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhuma mengatakan
bahwa ‘ghoyya’ dalam ayat tersebut adalah sungai
di Jahannam yang makanannya sangat menjijikkan,
yang tempatnya sangat dalam. (Ash Sholah, hal. 31)
Dalam ayat ini, Allah menjadikan tempat ini –yaitu
sungai di Jahannam- sebagai tempat bagi orang
yang menyiakan shalat dan mengikuti syahwat
(hawa nafsu). Seandainya orang yang meninggalkan
shalat adalah orang yang hanya bermaksiat biasa,
tentu dia akan berada di neraka paling atas,
sebagaimana tempat orang muslim yang berdosa.
Tempat ini (ghoyya) yang merupakan bagian neraka
paling bawah, bukanlah tempat orang muslim,
namun tempat orang-orang kafir.
Pada ayat selanjutnya juga, Allah telah mengatakan,
إِلَّا مَنْ تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ
صَالِحًا
“Kecuali orang yang bertaubat, beriman dan
beramal saleh.” Maka seandainya orang yang
menyiakan shalat adalah mukmin, tentu dia tidak
dimintai taubat untuk beriman"
Dalam ayat yang lain, Allah Ta’ala berfirman,
فَإِنْ تَابُوا وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ
وَآَتَوُا الزَّكَاةَ فَإِخْوَانُكُمْ فِي
الدِّينِ
“Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan
menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah
saudara-saudaramu seagama. ” (QS. At Taubah [9]:
11).
Dalam ayat ini, Allah Ta’ala mengaitkan
persaudaraan seiman dengan mengerjakan shalat.
Berarti jika shalat tidak dikerjakan, bukanlah saudara
seiman. Konsekuensinya orang yang meninggalkan
shalat bukanlah mukmin karena orang mukmin itu
bersaudara sebagaimana Allah Ta ’ala berfirman,
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
“Orang-orang beriman itu sesungguhnya
bersaudara.” (QS. Al Hujurat [49]: 10)
Pembicaraan orang yang meninggalkan shalat
dalam Hadits
Terdapat beberapa hadits yang membicarakan
masalah ini.
Dari Jabir bin ‘Abdillah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ
وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ
“(Pembatas) antara seorang muslim dan kesyirikan
serta kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR.
Muslim no. 257)
Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu -bekas budak Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam-, beliau mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
بَيْنَ العَبْدِ وَبَيْنَ الكُفْرِ
وَالإِيْمَانِ الصَّلَاةُ فَإِذَا
تَرَكَهَا فَقَدْ أَشْرَكَ
“Pemisah Antara seorang hamba dengan kekufuran
dan keimanan adalah shalat. Apabila dia
meninggalkannya, maka dia melakukan
kesyirikan. ” (HR. Ath Thobariy dengan sanad
shohih. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini
shohih. Lihat Shohih At Targib wa At Tarhib no.
566).
Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
رَأْسُ الأَمْرِ الإِسْلاَمُ وَعَمُودُهُ
الصَّلاَةُ
“Inti (pokok) segala perkara adalah Islam dan
tiangnya (penopangnya) adalah shalat.” (HR.
Tirmidzi no. 2825. Dikatakan shohih oleh Syaikh Al
Albani dalam Shohih wa Dho ’if Sunan At Tirmidzi).
Dalam hadits ini, dikatakan bahwa shalat dalam
agama Islam ini adalah seperti penopang (tiang)
yang menegakkan kemah. Kemah tersebut bisa
roboh (ambruk) dengan patahnya tiangnya. Begitu
juga dengan islam, bisa ambruk dengan hilangnya
shalat.
Para sahabat ber-ijma’ (bersepakat) bahwa
meninggalkan shalat adalah kafir
Umar radhiyallahu ‘anhu mengatakan,
لاَ إِسْلاَمَ لِمَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ
“Tidaklah disebut muslim bagi orang yang
meninggalkan shalat.”
Dari jalan yang lain, Umar radhiyallahu ‘anhu
berkata,
ولاَحَظَّ فِي الاِسْلاَمِ لِمَنْ تَرَكَ
الصَّلاَةَ
“Tidak ada bagian dalam Islam bagi orang yang
meninggalkan shalat.” (Dikeluarkan oleh Malik. Begitu
juga diriwayatkan oleh Sa’ad di Ath Thobaqot, Ibnu
Abi Syaibah dalam Al Iman. Diriwayatkan pula oleh
Ad Daruquthniy dalam kitab Sunan-nya, juga Ibnu
‘ Asakir. Hadits ini shohih, sebagaimana dikatakan
oleh Syaikh Al Albani dalam Irwa’ul Gholil no. 209).
Saat Umar mengatakan perkataan di atas tatkala
menjelang sakratul maut, tidak ada satu orang
sahabat pun yang mengingkarinya. Oleh karena itu,
hukum bahwa meninggalkan shalat adalah kafir
termasuk ijma ’ (kesepakatan) sahabat sebagaimana
yang dikatakan oleh Ibnul Qoyyim dalam kitab Ash
Sholah.
Mayoritas sahabat Nabi menganggap bahwa orang
yang meninggalkan shalat dengan sengaja adalah
kafir sebagaimana dikatakan oleh seorang tabi ’in,
Abdullah bin Syaqiq. Beliau mengatakan,
كَانَ أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ -صلى الله عليه
وسلم- لاَ يَرَوْنَ شَيْئًا مِنَ
الأَعْمَالِ تَرْكُهُ كُفْرٌ غَيْرَ
الصَّلاَةِ
“Dulu para shahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi
wa sallam tidaklah pernah menganggap suatu amal
yang apabila ditinggalkan menyebabkan kafir kecuali
shalat. ” Perkataan ini diriwayatkan oleh At Tirmidzi
dari Abdullah bin Syaqiq Al ‘Aqliy seorang tabi’in dan
Hakim mengatakan bahwa hadits ini bersambung
dengan menyebut Abu Hurairah di dalamnya. Dan
sanad (periwayat) hadits ini adalah shohih. (Lihat Ats
Tsamar Al Mustathob fi Fiqhis Sunnah wal Kitab, hal.
52)
Dari pembahasan terakhir ini terlihat bahwasanya Al
Qur ’an, hadits dan perkataan sahabat bahkan ini
adalah ijma’ (kesepakatan) mereka menyatakan
bahwa orang yang meninggalkan shalat dengan
sengaja adalah kafir (keluar dari Islam). Itulah
pendapat yang terkuat dari pendapat para ulama
yang ada.
Ibnul Qayyim mengatakan, “Tidakkah seseorang itu
malu dengan mengingkari pendapat bahwa orang
yang meninggalkan shalat adalah kafir, padahal hal
ini telah dipersaksikan oleh Al Kitab (Al Qur ’an), As
Sunnah dan kesepakatan sahabat. Wallahul
Muwaffiq (Hanya Allah-lah yang dapat memberi
taufik). ” (Ash Sholah, hal. 56)
Berbagai kasus orang yang meninggalkan shalat
[Kasus Pertama] Kasus ini adalah meninggalkan
shalat dengan mengingkari kewajibannya
sebagaimana mungkin perkataan sebagian orang,
“ Sholat oleh, ora sholat oleh.” [Kalau mau shalat
boleh-boleh saja, tidak shalat juga tidak apa-apa].
Jika hal ini dilakukan dalam rangka mengingkari
hukum wajibnya shalat, orang semacam ini
dihukumi kafir tanpa ada perselisihan di antara para
ulama.
[Kasus Kedua] Kasus kali ini adalah meninggalkan
shalat dengan menganggap gampang dan tidak
pernah melaksanakannya. Bahkan ketika diajak
untuk melaksanakannya, malah enggan. Maka orang
semacam ini berlaku hadits-hadits Nabi shallallahu
‘ alaihi wa sallam yang menunjukkan kafirnya orang
yang meninggalkan shalat. Inilah pendapat Imam
Ahmad, Ishaq, mayoritas ulama salaf dari shahabat
dan tabi ’in.
[Kasus Ketiga] Kasus ini yang sering dilakukan kaum
muslimin yaitu tidak rutin dalam melaksanakan
shalat yaitu kadang shalat dan kadang tidak. Maka
dia masih dihukumi muslim secara zhohir (yang
nampak pada dirinya) dan tidak kafir. Inilah pendapat
Ishaq bin Rohuwyah yaitu hendaklah bersikap
lemah lembut terhadap orang semacam ini hingga
dia kembali ke jalan yang benar. Wal ‘ibroh
bilkhotimah [Hukuman baginya dilihat dari keadaan
akhir hidupnya].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan, “Jika
seorang hamba melakukan sebagian perintah dan
meninggalkan sebagian, maka baginya keimanan
sesuai dengan perintah yang dilakukannya. Iman itu
bertambah dan berkurang. Dan bisa jadi pada
seorang hamba ada iman dan nifak sekaligus. …
Sesungguhnya sebagian besar manusia bahkan
mayoritasnya di banyak negeri, tidaklah selalu
menjaga shalat lima waktu. Dan mereka tidak
meninggalkan secara total. Mereka terkadang shalat
dan terkadang meninggalkannya. Orang-orang
semacam ini ada pada diri mereka iman dan nifak
sekaligus. Berlaku bagi mereka hukum Islam secara
zhohir seperti pada masalah warisan dan
semacamnya. Hukum ini (warisan) bisa berlaku bagi
orang munafik tulen. Maka lebih pantas lagi berlaku
bagi orang yang kadang shalat dan kadang
tidak. ” (Majmu’ Al Fatawa, 7/617)
[Kasus Keempat] Kasus ini adalah bagi orang yang
meninggalkan shalat dan tidak mengetahui bahwa
meninggalkan shalat membuat orang kafir. Maka
hukum bagi orang semacam ini adalah
sebagaimana orang jahil (bodoh). Orang ini tidaklah
dikafirkan disebabkan adanya kejahilan pada dirinya
yang dinilai sebagai faktor penghalang untuk
mendapatkan hukuman.
[Kasus Kelima] Kasus ini adalah untuk orang yang
mengerjakan shalat hingga keluar waktunya. Dia
selalu rutin dalam melaksanakannya, namun sering
mengerjakan di luar waktunya. Maka orang
semacam ini tidaklah kafir, namun dia berdosa dan
perbuatan ini sangat tercela sebagaimana Allah
berfirman,
وَيْلٌ لِلْمُصَلِّينَ )4( الَّذِينَ هُمْ
عَنْ صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ )5 )
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat,
(yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya.” (QS.
Al Maa’un [107]: 4-5) (Lihat Al Manhajus Salafi ‘inda
Syaikh Nashiruddin Al Albani, 189-190)
Penutup
Sudah sepatutnya kita menjaga shalat lima waktu.
Barangsiapa yang selalu menjaganya, berarti telah
menjaga agamanya. Barangsiapa yang sering
menyia-nyiakannya, maka untuk amalan lainnya
akan lebih disia-siakan lagi.
Amirul Mukminin, Umar bin Al Khoththob –
radhiyallahu ‘anhu- mengatakan, “Sesungguhnya di
antara perkara terpenting bagi kalian adalah shalat.
Barangsiapa menjaga shalat, berarti dia telah
menjaga agama. Barangsiapa yang menyia-
nyiakannya, maka untuk amalan lainnya akan lebih
disia-siakan lagi. Tidak ada bagian dalam Islam, bagi
orang yang meninggalkan shalat. ”
Imam Ahmad –rahimahullah- juga mengatakan
perkataan yang serupa, “Setiap orang yang
meremehkan perkara shalat, berarti telah
meremehkan agama. Seseorang memiliki bagian
dalam Islam sebanding dengan penjagaannya
terhadap shalat lima waktu. Seseorang yang
dikatakan semangat dalam Islam adalah orang yang
betul-betul memperhatikan shalat lima waktu.
Kenalilah dirimu, wahai hamba Allah. Waspadalah!
Janganlah engkau menemui Allah, sedangkan
engkau tidak memiliki bagian dalam Islam. Kadar
Islam dalam hatimu, sesuai dengan kadar shalat
dalam hatimu. ” (Lihat Ash Sholah, hal. 12)
Oleh karena itu, seseorang bukanlah hanya meyakini
(membenarkan) bahwa shalat lima waktu itu wajib.
Namun haruslah disertai dengan melaksanakannya
(inqiyad). Karena iman bukanlah hanya dengan
tashdiq (membenarkan), namun harus pula disertai
dengan inqiyad (melaksanakannya dengan anggota
badan).
Ibnul Qoyyim mengatakan, “Iman adalah dengan
membenarkan (tashdiq). Namun bukan hanya
sekedar membenarkan (meyakini) saja, tanpa
melaksanakannya (inqiyad). Kalau iman hanyalah
membenarkan (tashdiq) saja, tentu iblis, Fir ’aun dan
kaumnya, kaum sholeh, dan orang Yahudi yang
membenarkan bahwa Muhammad adalah utusan
Allah (mereka meyakini hal ini sebagaimana mereka
mengenal anak-anak mereka), tentu mereka semua
akan disebut orang yang beriman (mu ’min-
mushoddiq).”
Al Hasan mengatakan, “Iman bukanlah hanya
dengan angan-angan (tanpa ada amalan). Namun
iman adalah sesuatu yang menancap dalam hati dan
dibenarkan dengan amal perbuatan. ” (Lihat Ash
Sholah, 35-36)
Semoga tulisan yang singkat ini bermanfaat bagi
kaum muslimin. Semoga kita dapat mengingatkan
kerabat, saudara dan sahabat kita mengenai bahaya
meninggalkan shalat lima waktu. Alhamdulillahilladzi
bi ni ’matihi tatimmush sholihaat, wa shallallahu ‘ala
nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa
sallam.
Sumber : http://www.muslim.or.id/

No comments:

Post a Comment