Oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al-
Atsariyyah
Menata shaf dalam shalat merupakan hal penting
saat kita menunaikan shalat berjama’ah. Namun
sangat disayangkan, sunnah Rasul ini mulai
diabaikan bahkan cenderung dilupakan.
Saudariku muslimah… Dalam penjelasan yang
lalu kita telah mengetahui hukum shalat
berjama’ah bagi wanita dan beberapa perkara
yang berkaitan dengan jama’ah wanita. Namun
mungkin masih tersisa di benak kita yang belum
kita dapatkan keterangannya. Salah satu masalah
yang bisa kita sebutkan di sini adalah tentang shaf
wanita dan keberadaan mereka ketika shalat
bersama pria.
Mengapa kita perlu membahas masalah shaf ini?
Karena banyak kita jumpai kesalahan di kalangan
sebagian wanita. Ketika mereka hadir dalam
shalat berjama’ah di masjid bersama kaum pria,
mereka bersegera menempati shaf yang awal,
tepat di belakang shaf terakhir jama’ah pria.
Mereka menduga, dengan itu mereka akan
mendapatkan keutamaan. Padahal justru
sebaliknya.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
ُرْيَخ ِفْوُفُص ِلاَجِّرلا
اَهُلَّوَأ اَهُّرَشَو اَهُرِخآ،
ُرْيَخ ِفْوُفُص ِءاَسِّنلا
اَهُرِخآ اَهُّرَشَو اَهُلَّوَأ
“Sebaik-baik shaf pria adalah shaf yang awal dan
sejelek-jelek shaf pria adalah yang akhirnya.
Sebaik-baik shaf wanita adalah shaf yang terakhir
dan sejelek-jelek shaf wanita adalah yang paling
awal.” (Shahih, HR. Muslim, no. 440)
Al-Imam Nawawi rahimahullahu berkata:
“Adapun shaf-shaf pria maka secara umum
selama-lamanya yang terbaik adalah shaf awal
dan selama-lamanya yang paling jelek adalah shaf
akhir. Berbeda halnya dengan shaf wanita. Yang
dimaukan dalam hadits ini adalah shaf wanita
yang shalat bersama kaum pria. Adapun bila
mereka (kaum wanita) shalat terpisah dari
jama’ah pria, tidak bersama dengan pria, maka
shaf mereka sama dengan pria, yang terbaik shaf
yang awal sementara yang paling jelek adalah
shaf yang paling akhir. Yang dimaksud shaf yang
jelek bagi pria dan wanita adalah yang paling
sedikit pahalanya dan keutamaannya, dan paling
jauh dari tuntunan syar’i. Sedangkan maksud
shaf yang terbaik adalah sebaliknya. Shaf yang
paling akhir bagi wanita yang hadir shalat
berjama’ah bersama pria memiliki keutamaan
karena wanita yang berdiri dalam shaf tersebut
akan jauh dari bercampur baur dengan pria dan
melihat mereka. Di samping jauhnya mereka dari
interaksi dengan kaum pria ketika melihat gerakan
mereka, mendengar ucapannya, dan semisalnya.
Shaf yang awal dianggap jelek bagi wanita karena
alasan yang sebaliknya dari apa yang telah
disebutkan.” (Syarah Shahih Muslim, 4/159-160)
Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullahu
menyatakan: “Dalam hadits ini ada petunjuk
bolehnya wanita berbaris dalam shaf-shaf dan
dzahir hadits ini menunjukkan sama saja baik
shalat mereka itu bersama kaum pria atau
bersama wanita lainnya. Alasan baiknya shaf
akhir bagi wanita karena dalam keadaan demikian
mereka jauh dari kaum pria, dari melihat dan
mendengar ucapan mereka. Namun alasan ini
tidaklah terwujud kecuali bila mereka shalat
bersama pria. Adapun bila mereka shalat dengan
diimami seorang wanita maka shaf mereka sama
dengan shaf pria, yang paling utama adalah shaf
yang awal.” (Subulus Salam, 2/49)
Dari penjelasan di atas, dapat kita pahami dua
perkara berikut ini:
1. Bila wanita itu shalat berjama’ah dengan kaum
pria, maka shaf yang terbaik baginya adalah yang
paling akhir.
1. Sementara bila ia shalat dengan diimami wanita
lain (berjama’ah dengan sesama kaum wanita)
atau bersama jama’ah namun ada pemisah
antara keduanya, maka shaf yang terbaik baginya
adalah yang paling awal sama dengan shaf yang
terbaik bagi pria, karena tidak ada kekhawatiran
terjadinya fitnah antara wanita dan pria. Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
ْوَل َنْوُمَلْعَي اَم يِف
ِّفَّصلا ِمَّدَقُمْلا
اْوُمَهَتْسَال
“Seandainya mereka mengetahui keutamaan
(pahala) yang diperoleh dalam shaf yang
pertama, niscaya mereka akan mengundi untuk
mendapatkannya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari no.
721 dan Muslim no. 437)
Haruskah Wanita Meluruskan Shafnya?
Saudariku muslimah…
Ketentuan yang diberlakukan syariat ini terhadap
shaf pria juga berlaku bagi shaf wanita dari sisi
keharusan meluruskan shaf, mengaturnya,
memenuhi shaf yang awal terlebih dahulu
kemudian shaf berikutnya, serta menutup
kekosongan yang ada dalam shaf. (Al-Muntaqa
min Fatawa Fadhilatusy Syaikh Shalih bin
Fauzan, 3/157,158)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan:
اْوُّوَس ْمُكَفْوُفُص، َّنِإَف
َةَيِوْسَت ِّفَّصلا ْنِم ِماَمَت
ِةَالَّصلا
“Luruskan shaf-shaf kalian, karena kelurusan shaf
termasuk kesempurnaan shalat.” (Shahih, Al-
Bukhari no. 723 dan Muslim no. 433)
Beliau juga bersabda:
َّنُّوَسُتَل ْمُكَفْوُفُص ْوَأ
َّنَفِلاَخُيَل ُهللا َنْيَب
ْمُكِهْوُخُو
“Hendaknya kalian bersungguh-sungguh
meluruskan shaf-shaf kalian atau Allah sungguh-
sungguh akan memperselisihkan di antara wajah-
wajah kalian1.” (HR. Al-Bukhari no. 717 dan
Muslim no. 436)
Bila para wanita ini diimami oleh seorang wanita,
maka hendaknya sebelum shalat ditegakkan
imam menghadap ke makmumnya untuk
meluruskan shaf mereka, dengan dalil hadits
Anas radhiyallahu ‘anhu. Ia mengatakan:
ِتَمْيِقُأ ُةَالَّصلا َلَبْقَأَف
اَنْيَلَع ُلْوُسَر ِهللا ىَّلَص
ُهللا ِهْيَلَع َمَّلَسَو
ِهِهْجَوَب َلاَقَف: اْوُمْيِقَأ
ْمُكَفْوُفُص اْوُّصاَرَتَو
يِّنِإَف ْمُكاَرَأ ْنِم ِءاَرَو
يِرْهَظ
“Diserukan iqamah untuk shalat, maka Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam menghadap ke arah
kami dengan wajahnya, seraya berkata: ‘Luruskan
shaf-shaf kalian dan rapatkanlah (saling
menempel tanpa membiarkan adanya celah)
karena sesungguhnya aku melihat kalian dari
belakang punggungku.’” (HR. Al-Bukhari no. 719
dan Muslim no. 434)
Yang dimaksud dengan meluruskan shaf adalah
meratakan barisan orang-orang yang berdiri di
dalam shaf tersebut sehingga tidak ada yang
terlalu maju atau terlalu mundur, atau menutup
adanya celah di dalam barisan tersebut (Fathul
Bari, 2/254). Hal ini bisa dilakukan dengan
menempelkan pundak dengan pundak dan mata
kaki dengan mata kaki, sebagaimana amalan para
shahabat yang disebutkan oleh An-Nu’man bin
Basyir radhiyallahu ‘anhu: “Aku melihat salah
seorang dari kami menempelkan mata kakinya
dengan mata kaki temannya.” (HR. Al-Bukhari
dalam Kitabul Adzan; bab Ilzaqil Mankib bil Mankib
wal Qadam bil Qadam fish Shaf)
Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan untuk meluruskan shaf, Anas bin
Malik radhiyallahu ‘anhu menyaksikan: “Adalah
salah seorang dari kami menempelkan
pundaknya dengan pundak temannya dan
menempelkan kakinya dengan kaki
temannya.” (HR. Al-Bukhari no. 725)
Bagaimana Bila Wanita Shalat Sendirian
dengan Jama’ah Pria?
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
diundang makan di rumah Anas bin Malik
radhiyallahu ‘anhu. Selesainya dari memakan
hidangan yang disajikan, beliau mengajak
penghuni rumah untuk shalat bersama beliau.
Maka Anas segera membersihkan tikar milik
mereka yang telah menghitam karena lama
dipakai dengan memercikkannya dengan air,
setelah itu ia hamparkan untuk Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Anas mengabarkan:
اَنْيَّلَص اَنَأ ٌمْيِتَيَو يِف
اَنِتْيَب َفْلَخ ِّيِبَّنلا
ىَّلَص ُهللا ِهْيَلَع َمَّلَسَو
يِّمُأَو -ُّمُأ ٍمْيَلُس- اَنَفْلَخ
“Aku bersama seorang anak yatim di rumah kami
pernah shalat di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, sedang ibuku -Ummu Sulaim- berdiri
di belakang kami.” (HR. Al-Bukhari no. 380, 727
dan Muslim no. 658)
Hadits di atas menunjukkan seorang wanita bila
shalat bersama kaum pria maka posisinya di
belakang shaf mereka. Apabila tidak ada
bersamanya wanita lain, dalam arti hanya satu
wanita yang ikut dalam jama’ah tersebut, maka
dia berdiri sendiri di shaf paling akhir dari shaf
yang ada, demikian dikatakan Al-Imam An-
Nawawi rahimahullahu dalam Syarah Shahih
Muslim (5/163).
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullahu
berkata: “Dalam hadits ini menunjukkan wanita
tidaklah berdiri satu shaf dengan kaum pria. Asal
dari perkara ini adalah kekhawatiran terfitnahnya
kaum pria dengan wanita….” (Fathul Bari, 2/261)
Bolehkah Seorang Pria Mengimami Seorang
Wanita?
Saudariku muslimah…
Mungkin akan timbul pertanyaan: bolehkah
seorang pria mengimami, yakni mereka hanya
shalat berdua? Maka jawaban dari pertanyaan di
atas bisa kita rinci berikut ini. Apabila wanita itu
bukan mahramnya, maka haram ia berduaan
(khalwat) dengannya walaupun untuk tujuan
shalat. Hal ini perlu kita tekankan karena mungkin
ada anggapan shalat itu ibadah sehingga tidak
dipermasalahkan adanya khalwat ketika
mengerjakannya. Maka ini jelas anggapan yang
salah. Dalil dalam permasalahan ini adalah hadits
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang
umum:
َال َّنَوُلْخَي ٌلُجَر ٍةَأَرْماِب
َّالِإ َعَم يِذ ٍمَرْحَم
“Tidak boleh seorang laki-laki bersepi-sepi dengan
seorang wanita kecuali bila wanita itu didampingi
mahramnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5233 dan
Muslim no. 1341)
Ulama kita pun telah menyatakan keharaman
akan hal ini, berbeda halnya bila wanita tersebut
adalah mahramnya atau istrinya maka dibolehkan
baginya shalat berdua dengan si wanita. (Al-
Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, 4/277)
Ibnu Qudamah rahimahullahu berkata: “Tidak
mengapa seorang pria mengimami wanita-
wanita yang merupakan mahramnya
sebagaimana bolehnya ia mengimami para
wanita bersama jama’ah pria. Karena (di jaman
nubuwwah) para wanita biasa shalat bersama
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di masjid, Nabi
sendiri pernah mengimami istri-istrinya dan
pernah pula mengimami Anas bin Malik bersama
ibunya di rumah mereka.” (Al-Mughni, 2/200)
Wallahu ta’ala a’lam bishshawab.
Shaf Wanita di dalam Shalat
Ketika disampaikan kepada Asy-Syaikh Shalih bin
Fauzan bin ‘Abdullah Al-Fauzan hafizhahullah
bahwasanya dalam bulan Ramadhan kaum
wanita yang ikut hadir shalat berjama’ah di
masjid memilih menempati shaf yang akhir. Akan
tetapi shaf wanita yang pertama terpisah jauh dari
shafnya jama’ah pria. Karena mayoritas wanita
menempati shaf akhir ini, sehingga shaf penuh
sesak dan menutup jalan bagi wanita lainnya
yang hendak menuju ke shaf pertama. Mereka
melakukan hal ini karena mengamalkan sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Shaf wanita
yang paling utama adalah yang paling akhir.”
Beliau hafizhahullah memberikan jawaban
terhadap permasalahan di atas dengan
mengatakan: “Dalam permasalahan ini ada
perincian. Apabila jama’ah wanita (yang ikut hadir
di masjid) shalat tanpa ada penghalang (penutup)
antara mereka dengan jama’ah pria maka
keaadan mereka sebagaimana ditunjukkan dalam
hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Sebaik-baik shaf wanita adalah shaf yang paling
akhir.” Karena shaf yang akhir itu jauh dari kaum
pria sedangkan shaf yang depan dekat dengan
kaum pria.”
Adapun bila mereka shalat dengan diletakkan
penghalang/penutup antara mereka dengan pria,
maka yang lebih utama bagi mereka adalah shaf
yang terdepan karena hilangnya (tidak adanya)
perkara yang dikhawatirkan, dalam hal ini fitnah
antara lawan jenis. Sehingga keberadaan shaf
mereka sama dengan shaf pria, yang paling
depan adalah yang terbaik, selama diletakkan
penutup (penghalang) antara shaf mereka dengan
shaf pria. Dan shaf-shaf wanita wajib diatur
sebagaimana shaf-shaf pria, mereka
sempurnakan/penuhi dulu shaf yang terdepan,
baru yang di belakangnya dan demikian
seterusnya. (Fatawa Al-Mar’ah Al-Muslimah,
1/323/324)
Wallahu a’lam.
Footnote:
1 Maknanya, kata Al-Imam An-Nawawi
rahimahullahu, yaitu Allah akan meletakkan
permusuhan dan kebencian di antara kalian dan
berselisihnya hati-hati kalian. Karena berselisihnya
mereka dalam shaf adalah perselisihan secara
dzahir yang akan menjadi sebab perselisihan
secara batin. (Syarah Shahih Muslim, 4/157)
(Dinukil dari Majalah Asy Syariah, Vol. I/No. 05/
Dzulqa’dah 1424H/Februari 2004M, judul: Menata
Shaf, Sunnah Rasul yang Terabaikan, hal. 68-71,
untuk http://akhwat.web.id)
No comments:
Post a Comment