ETIKA BERGAUL
Oleh
Ustadz Fariq bin Gasim Anuz
Bagian Pertama dari Dua Tulisan 1/2
Cita-cita tertinggi seorang muslim, ialah agar
dirinya dicintai Allah, menjadi orang bertakwa
yang dapat diperoleh dengan menunaikan hak-
hak Allah dan hak-hak manusia. diantara tanda-
tanda seseorang dicintai Allah, yaitu jika dirinya
dicintai olah orang-orang shalih, diterima oleh hati
mereka. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi was sallam
bersabda.
“Artinya : Sesungguhnya Allah jika mencintai
seorang hamba, Ia memanggil Jibril,
“Sesungguhnya Aku mencintai si fulan, maka
cintailah ia.”Lalu Jibril mencintainya dan menyeru
kepada penduduk langit, “Sesungguhnya Allah
mencintai si fulan, maka cintailah ia.”Maka
(penduduk langit) mencintainya, kemudian
menjadi orang yang diterima di muka
bumi.” [Hadits Bukhari dan Muslim,dalam Shahih
Jami’ush Shaghir no.283]
Diantara sifat-sifat muslim yang dicintai oleh
orang-orang shalih di muka bumi ini, diantaranya
ia mencintai mereka karena Allah, berakhlak
kepada manusia dengan akhlak yang baik,
memberi manfaat, melakukan hal-hal yang
disukai manusia dan menghindari dari sikap-sikap
yang tidak disukai manusia.
Berikut ini beberapa dalil yang menguatkan
keterangan di atas.
Allah berfirman.
“Artinya : Pergauilah mereka (isteri) dengan baik”.
[An-Nisaa : ’1]
“Artinya : Allah mencintai orang-orang yang
berbuat baik”. [Ali-Imran : 134]
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda.
“Artinya : Bertakwalah engkau dimanapun engkau
berada, Sertailah keburukan itu dengan kebaikan,
niscaya kebaikan itu akan menghapus
keburukan.Dan berakhlaklah kepada manusia
dengan akhlak yang baik” [HR.Tirmidzi, ia
berkata :Hadits hasan]
“Artinya : Seutama-utama amal Shalih, ialah agar
engkau memasukkan kegembiraan kepada
saudaramu yang beriman”.[HR.Ibn Abi Dunya
dan dihasankan olah Syaikh Al-Albani dalam
Shahih Jami’ush Shaghir 1096]
URGENSI PEMBAHASAN ETIKA BERGAUL
Adab bergaul dengan manusia merupakan bagian
dari akhlakul karimah (akhlak yang mulia). akhlak
yang mulia itu sendiri merupakan bagian dari
dienul Islam. Walaupun prioritas pertama yang
diajarkan olah para Nabi adalah tauhid, namun
bersamaan dengan itu, mereka juga mengajarkan
akhlak yang baik. Bahkan Nabi Muhammad
Shalallahu ‘alaihi wassalam diutus untuk
menyempurnakan akhlak. beliau Shalallahu ‘alaihi
wassalam adalah seorang manusia yang
berakhlak mulia. Allah berfirman.
“Artinya : Dan sesungguhnya engkau berada di
atas akhlak yang agung”.[Al-Qalam 4]
Dan kita diperintahkan untuk mengikuti beliau, taat
kepadanya dan menjadikannya sebagai teladan
dalam hidup. Allah telah menyatakan dalam
firman-Nya :
“Artinya : Sungguh telah ada pada diri Rasulullah
itu contoh teladan yang baik” [Al-Ahzab 21]
Dengan mempraktekkan adab-adab dalam
bergaul, maka kita akan memperoleh manfaat,
yaitu berupa ukhuwah yang kuat diantara umat
Islam, ukhuwah yang kokoh, yang dilandasi iman
dan keikhlasan kepada Allah. Allah telah
berfirman.
“Artinya : Dan berpegang teguhlah kalian denga
tali (agama ) Allah bersama-sama , dan janganlah
kalian bercerai-berai, Dan ingatlah nikmat Allah
yang telah Allah berikan kepada kalian, ketika
kalian dahulu bermusuh-musuhan, lalu Allah
lunakkan hati-hati kalian sehingga dengan nikmat-
Nya, kalian menjadi bersaudara, padahal tadinya
kalian berada di tepi jurang neraka, lalu Allah
menyelamatkan kalian daripadanya. Demikianlah
Allah menjelaskan kepada kalian ayat-ayatnya,
agar kalian mendapat petunjuk” [Al-Imran : 103]
.
Oleh karena itu, adab-adab bergaul ini sangat
perlu dipelajari untuk kita amalkan. kita harus
mengetahui, bagaimana adab terhadap orang tua,
adab terhadap saudara kita, adab terhadap istri
kita, adab seorang istri terhadap suaminya, adab
terhadap teman sekerja atau terhadap atasan dan
bawahan. Jika kita seorang da’i atau guru, maka
harus mengetahui bagaimana adab bermuamalah
dengan da ’i atau lainnya dan dengan mad’u (yang
didakwahi) atau terhadap muridnya. Demikian
juga apabila seorang guru, atau seorang murid
atau apapun jabatan dan kedudukannya, maka
kita perlu untuk mengetahui etika atau adab-adab
dalam bergaul.
Kurang mempraktekkan etika bergaul,
menyebabkan dakwah yang haq dijauhi oleh
manusia. Manusia menjadi lari dari kebenaran
disebabkan ahli haq atau pendukung kebenaran
itu sendiri melakukan praktek yang salah dalam
bergaul dengan orang lain. Sebenarnya memang
tidaklah dibenarkan seseorang lari dari kebenaran,
disebabkan kesalahan yang dilakukan oleh orang
lain.
Jika inti ajaran yang dibawa oleh seseorang itu
benar, maka kita harus menerimanya, dengan
tidak memperdulikan cara penyampaiannya yang
benar atau salah, etikanya baik atau buruk, akan
tetapi pada kenyataannya, kebanyakan orang
melihat dulu kepada etika orang itu. Oleh karena
itu, mengetahui etika ini penting bagi kita, sebagai
muslim yang punya kewajiban saling menasehati
sesama manusia, agar bisa mempraktekkan cara
bergaul yang benar.
MOTIVASI DALAM BERGAUL
Faktor yang mendorong seorang muslim dalam
bergaul dengan orang lain ialah semata-mata
mencari ridha Allah. ketika seorang muslim
tersenyum kepada saudaranya, maka itu semata-
mata mencari ridha Allah, karena tersenyum
merupakan perbuatan baik. Demikian juga ketika
seorang muslim membantu temannya atau ketika
mendengarkan kesulitan-kesulitan temannya,
ketika menepati janji, tidak berkata-kata yang
menyakitkan kepada orang lain, maka perbuatan-
perbuatan itu semata-mata untuk mencari ridha
Allah, Demikianlah seharusnya. jangan
sebaliknya, yaitu, bertujuan bukan dalam rangka
mencari ridha Allah. Misalnya : bermuka manis
kepada orang lain, menepati janji, berbicara
lemah-lembut, semua itu dilakukan karena
kepentingan dunia. atau ketika berurusan dalam
perdagangan, sikapnya ditunjukkan hanya
semata-mata untuk kemaslahatan dunia. tingkah
laku seperti ini yang membedakan antara muslim
dengan non muslim.
Bisa saja seorang muslim bermuamalah dengan
sesamanya karena tujuan dunia semata.
Seseorang mau akrab, menjalin persahabatan
disebabkan adanya keuntungan yang didapatnya
dari orang lain. Manakala keuntungan itu tidak
didapatkan lagi, maka ia berubah menjadi tidak
mau kenal dan akrab lagi. Atau seseorang senang
ketika oramg lain memberi sesuatu kepadanya,
akan tetapi ketika sudah tidak diberi, kemudian
berubah menjadi benci. Hal seperti itu bisa terjadi
pada diri seorang muslim. Sikap seperti itu
merupakan perbuatan salah.
Al-Imam Ibn Qayyim rahimahullah menjelaskan
dalam kitab Zaadul Ma’ad juz ke-4 hal 249 :
“Diantara kecintaan terhadap sesama muslim ada
yang disebut mahabbatun linaili gharadlin minal
mahbud, yaitu suatu kecintaan untuk mencapai
tujuan dari yang dicintainya, bisa jadi tujuan yang
ingin ia dapatkan dari kedudukan orang tersebut,
atau hartanya, atau ingin mendapatkan manfaat
berupa ilmu dan bimbingan orang tersebut, atau
untuk tujuan tertentu; maka yang demikian itu
disebut kecintaan karena tendensi. atau karena
ada tujuan yang ingin dicapai, kemudian
kecintaan ini akan lenyap pula seiring dengan
lenyapnya tujuan tadi. Karena sesungguhnya,
siapa saja yang mencintaimu dikarenakan adanya
suatu keperluan, maka ia akan berpaling darimu
jika telah tercapai keinginannya”. hal seperti ini
sering terjadi dalam kehidupan kita.
Contohnya :seorang karyawan sangat
menghormati dan perhatian kepada atasannya di
tempat kerja. tetapi apabila atasannya itu sudah
pensiun atau sudah tidak menjabat lagi, karyawan
ini tidak pernah memikirkan dan
memperhatikannya lagi.
Begitu juga ketika seseorang masih menjadi
murid, sangat menghormati gurunya. Namun
ketika sudah lulus (tidak menjadi muridnya lagi),
bahkan sekolahnya sudah lebih tinggi dari
gurunya itu, bertemu di jalan pun enggan untuk
menyapa.
Banyak orang yang berteman akrab hanya
sebatas ketika ada kepentingannya saja.yakni
ketika menguntungkannya, dia akrab, sering
mengunjungi, berbincang-bincang dan
memperhatikannya.namun ketika sudah tidak ada
keuntungan yang bisa didapatnya, kenal pun tidak
mau.
Ada juga seseorang yang hanya hormat kepada
orang kaya saja. Adapun kepada orang miskin,
memandang pun sudah tidak mau. Hal semacam
ini bukan berasal aturan-aturan Islam. menilai
seseorang hanya dikarenakan hartanya, hanya
karena nasabnya, hanya karena ilmunya, yaitu
jika kepada orang yang berilmu dia hormat dan
menyepelekan kepada orang yang tak berilmu.
hal-hal seperti itu merupakan perbuatan yang
keliru.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
menjelaskan dalam Majmu’Fatawa juz 10, beliau
berkata: “Jiwa manusia itu telah diberi naluri untuk
mencintai orang yang berbuat baik kepadanya,
namun pada hakekatnya sesungguhnya hal itu
sebagai kecintaan kepada kebaikan, bukan kepada
orang yang telah berbuat baik.apabila orang yang
berbuat baik itu memutuskan kebaikannya atau
perbuatan baiknya, maka kecintaannya akan
melemah, bahkan bisa berbalik menjadi
kebencian. Maka kecintaan demikian bukan karena
Allah.
Barangsiapa yang mencintai orang lain
dikarenakan dia itu memberi sesuatu kepadanya,
maka dia semata-mata cinta kepada pemberian.
Dan barang siapa yang mengatakan: “saya cinta
kepadanya karena Allah”, maka dia pendusta.
Begitu pula, barang siapa yang menolongnya,
maka dia semata-mata mencintai pertolongan,
bukan cinta kepada yang menolong. Yang
demikian itu, semuanya termasuk mengikuti
hawa nafsu. Karena pada hakekatnya dia
mencintai orang lain untuk mendapatkan manfaat
darinya, atau agar tehindar dari bahaya.
Demikianlah pada umumnya manusia saling
mencintai pada sesamanya, dan yang demikian
itu tidak akan diberi pahala di akhirat, dan tidak
akan memberi manfaat bagi mereka. Bahkan bisa
jadi hal demikian itu mengakibatkan terjerumus
pada nifaq dan sifat kemunafikan.
Ucapan Ibn Taimiyah rahimahullah ini sesuai
dengan firman Allah dalam surat Az-Zukhruf
67,artinya: “teman-teman akrab pada hari itu
sebagiannya akan menjadi musuh bagi sebagian
yang lain, kecuali orang-orang bertakwa. adapun
orang-orang bertakwa, persahabatan mereka
akan langgeng sampai di alam akhirat, karena
didasari lillah dan fillah. Yaitu cinta karena Allah.
Sebaliknya, bagi orang-orang yang tidak
bertakwa, di akhirat nanti mereka akan menjadi
musuh satu sama lain. Persahabatan mereka
hanya berdasarkan kepentingan dunia. Diantara
motto mereka ialah: “Tidak ada teman yang abadi,
tidak ada musuh yang abadi, yang ada hanya
kepentingan yang abadi”.
Dasar persahabatan mereka bukan karena dien,
tetapi karena kepentingan duniawi. Berupa ambisi
untuk mendapatkan kekuasaan, harta dan
sebagainya dengan tidak memperdulikan apakah
cara yang mereka lakukan diridhoi Allah, sesuai
dengan aturan-aturan Islam ataukah tidak.
[Sumber : Majalah As-Sunnah edisi 03 – 04
No comments:
Post a Comment