Saturday, December 25, 2010

Ilmu, Perhiasan TakTernilai BagiMuslimah

Ummu Abdillah bintu Mursyid.
Seorang yang mendambakan kebahagiaan hidup
di dunia dan akhirat harus memiliki pedoman
dalam menapaki kehidupannya di dunia. Dan
pedoman hidup seorang hamba semua telah
diatur dalam syariat Islam.
Seorang yang sukses bukanlah orang yang hidup
dengan bersemboyan ‘semau gue’ dengan
mengikuti hawa nafsunya, tapi orang yang
sukses adalah orang yang mengambil Al Qur’an
dan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam dengan pemahaman As Salafus Shalih
sebagai pengikat aturan hidupnya. Petunjuk Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu
‘Alaihi Wa Sallam ini tidak mungkin dapat
diketahui tanpa menuntut ilmu syar’i. Karena
itulah, Allah dan Rasul-Nya memerintahkan setiap
Muslim dan Muslimah yang baligh dan berakal
(mukallaf) untuk menuntut ilmu.
Dalam sebuah hadits dari Anas bin Malik
radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam bersabda :
“Menuntut ilmu wajib bagi setiap Muslim.” (HR.
Ahmad dengan sanad hasan. Lihat kitab
Jami’ Bayan Al ‘Ilmi wa Fadllihi karya Ibnu
‘Abdil Bar, tahqiq Abi Al Asybal Az Zuhri,
yang membahas panjang lebar tentang
derajat hadits ini)
Imam Ahmad rahimahullah mengatakan bahwa
ilmu yang wajib dituntut di sini adalah ilmu yang
dapat menegakkan agama seseorang, seperti
dalam perkara shalatnya, puasanya, dan
semisalnya. Dan segala sesuatu yang wajib
diamalkan manusia maka wajib pula
mengilmuinya, seperti pokok-pokok keimanan,
syariat Islam, perkara-perkara haram yang harus
dijauhi, perkara muamalah, dan segala yang
dapat menyempurnakan kewajibannya.
Sebagai hamba Allah, seorang Muslimah wajib
mengenal Rabbnya yang meliputi pengetahuan
terhadap nama-nama, sifat-sifat, dan perbuatan
Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana
diberitakan dalam Al Qur’an dan hadits-hadits
yang shahih. Selain itu, ia harus mengetahui
bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala bersendiri
dalam Mencipta, Mengatur, Memiliki, dan Memberi
Rezeki. Ia pun wajib menunaikan hak-hak Allah,
yaitu beribadah hanya kepada-Nya dan tidak
menyekutukan-Nya dengan sesuatupun,
sebagaimana tujuan penciptaannya. Allah
berfirman :
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia
melainkan untuk beribadah kepada-Ku.” (Adz
Dzariyat : 56)
Seseorang tidak akan berada di atas hakikat
agamanya sebelum ia berilmu atau mengenal
Allah Ta’ala. Pengenalan ini tidak akan terjadi
kecuali dengan menuntut ilmu Dien (Agama
Islam).
Di samping mengenal Allah, seorang Muslimah
juga wajib mengenal Nabi-Nya, yaitu Muhammad
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, karena beliau
merupakan perantara antara Allah dengan
manusia dalam penyampaian risalah-Nya. Sesuai
dengan makna persaksiannya bahwa
Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam adalah
hamba dan Rasul-Nya, maka ia wajib mentaati
segala yang beliau perintahkan, membenarkan
segala yang beliau khabarkan, menjauhi apa yang
beliau larang dan tidak beribadah kepada Allah
kecuali dengan apa yang beliau syariatkan. Hal ini
sesuai dengan perintah Allah Subhanahu wa
Ta’ala :
“Apa yang diberikan Rasul kepada kalian maka
terimalah, dan apa yang dilarangnya bagi kalian
maka tinggalkanlah, dan bertakwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras
hukumannya.” (Al Hasyr : 7)
Ayat ini merupakan kaidah umum yang agung
dan jelas tentang wajibnya seluruh kaum
Muslimin mengambil sunnah yang telah tetap dan
hadits-hadits shahih dalam aqidah, ibadah,
muamalah, adab, akhlak, seluruhnya. Hal ini tidak
akan diketahui kecuali dengan menuntut ilmu
terlebih dahulu.
Selain mengenal Allah dan Rasul-Nya, seorang
Muslimah juga wajib mengenal agama Islam
sebagai agama yang dianutnya, dengan
memperhatikan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As
Sunnah yang shahihah, sehingga ia memiliki
pendirian kokoh, tidak mudah terombang-
ambing. Dan agar ia berada di atas cahaya, bukti,
dan kejelasan dari agamanya.
Inilah masalah pertama yang disebutkan oleh Asy
Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
rahimahullah dalam bukunya Al Ushuluts
Tsalatsah, yaitu berilmu sebelum beramal dan
berdakwah.
Seorang Muslimah juga wajib membekali dirinya
dengan ilmu sebelum memasuki jenjang
pernikahan, sehingga ia dapat menunaikan
kewajibannya sesuai dengan tuntunan syariat.
Sebagai isteri, seorang Muslimah dituntut agar
menjadi isteri yang shalihah, sehingga ia dapat
menjadi perhiasan dunia yang paling baik, bukan
justru menjadi fitnah atau musuh bagi suaminya.
Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash radhiallahu
‘anhuma berkata, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam bersabda :
“Dunia adalah perhiasan dan sebaik-baik
perhiasan dunia adalah wanita yang shalihah.”
(HR. Muslim)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang
sifat-sifat wanita shalihah :
“… maka wanita shalihah, ialah yang taat kepada
Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak
ada, oleh karena itu Allah telah memelihara
mereka.” (An Nisa’ : 34)
Maksud ayat ini diterangkan oleh Asy Syaikh Abu
Bakar Jabir Al Jazairi dan Asy Syaikh Salim Al Hilali
rahimahumullah bahwa wanita yang shalihah
adalah yang menunaikan hak-hak Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan mentaati-Nya, mentaati
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, dan
menunaikan hak-hak suaminya dengan
mentaatinya dan menghormatinya, serta
menjaga harta suami, anak-anak mereka, dan
kehormatannya tatkala suaminya tidak ada.
Untuk menjadi wanita shalihah yang seperti ini,
seorang Muslimah membutuhkan ilmu.
Sebagai seorang ibu, ia mempunyai tanggung
jawab mendidik anak-anaknya agar menjadi
anak- anak yang shalih dan shalihah. Di bawah
kepemimpinan suami, isteri adalah penjaga
rumah tangga suami dan anak-anaknya,
sebagaimana dalam hadits dari Ibnu ‘Umar
radhiallahu ‘anhuma dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi
Wa Sallam bahwasanya beliau bersabda :
“Laki-laki adalah pemimpin atas keluarganya,
wanita adalah pemimpin dalam rumah tangga
suaminya dan anak-anaknya, maka setiap kalian
adalah pemimpin, akan ditanya tentang yang
dipimpinnya.” (Muttafaqun ‘Alaihi)
Hasil didikan seorang ibu terhadap anak-anaknya
inilah yang termasuk perkara yang akan
ditanyakan oleh Allah kelak di hari kiamat. Karena
itulah Muslimah harus menuntut ilmu syar’i
sebagai bekal mendidik anak-anak sehingga fitrah
mereka tetap terjaga dan menjadi penyejuk hati
karena keshalihan mereka.
Di tempat lain, bila seorang Muslimah belum
menikah, maka sebagai anak ia wajib taat pada
orang tuanya selama tidak memerintahkan
kepada maksiat. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman :
“Kami wasiatkan kepada manusia supaya berbuat
baik kepada kedua orang tuanya… .” (Al
Ankabut : 8)
Dalam hadits dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash
radhiallahu ‘anhuma dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi
Wa Sallam, beliau bersabda :
“Dosa-dosa besar ialah menyekutukan Allah,
durhaka pada orang tua, membunuh jiwa (tanpa
hak), dan sumpah palsu.” (HR. Bukhari)
Untuk dapat berbuat baik dan menunaikan hak-
hak orang tua dengan benar, seorang Muslimah
tidak bisa lepas dari ilmu.
Seluruh kewajiban ini harus dapat ditunaikan
dengan dasar ilmu. Karena jika tidak, akan terjadi
berbagai kesalahan dan kerusakan. Maka tidak
heran, bila para Muslimah yang bodoh terhadap
agamanya melakukan berbagai praktek kesyirikan
dan kebid’ahan.
Akibat kebodohannya pula, banyak Muslimah
yang durhaka pada suami atau orang tuanya.
Atau terjadi berbagai kesalahan dalam mendidik
anak sehingga muncullah generasi yang
berakhlak buruk, bahkan bisa jadi durhaka pada
orang tua yang telah merawat dan
membesarkannya. Karena kebodohannya pula,
banyak Muslimah yang tidak mengetahui
bagaimana ia harus menjaga kehormatannya,
sehingga ia menjadi fitnah dan terjerumus dalam
perzinahan dan berbagai kemaksiatan. Kita
berlindung kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
dari yang demikian itu.
Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhuma berkata,
telah bersabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam :
“Aku berdiri di muka pintu Syurga, maka aku
dapatkan mayoritas penghuninya adalah orang-
orang miskin, sedang orang-orang kaya masih
tertahan oleh perhitungan kekayaannya. Dan ahli
neraka telah diperintahkan masuk neraka. Dan
ketika aku berdiri di dekat pintu neraka, maka aku
dapatkan mayoritas penghuninya adalah para
wanita.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hanya dengan menuntut ilmu, seorang Muslimah
akan mengetahui jalan yang selamat. Kaum
Muslimah masa kini akan menjadi baik bila
mereka mau mencontoh para Muslimah generasi
terdahulu (generasi salafuna shalih), mereka
sangat memperhatikan dan bersemangat dalam
menuntut ilmu.
Dalam sebuah hadits dari Abi Sa’id Al Khudri
radhiallahu ‘anhu, ia berkata : “Seorang wanita
mendatangi Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam dan berkata :
‘Wahai Rasulullah! Kaum lelaki telah membawa
haditsmu, maka jadikanlah bagi kami satu harimu
yang kami datang pada hari tersebut agar engkau
mengajarkan pada kami apa yang telah diajarkan
Allah kepadamu.’ Maka beliau bersabda :
‘Berkumpullah pada hari ini dan ini di tempat ini.’
Maka mereka pun berkumpul, lalu Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam mendatangi mereka
dan mengajarkan apa yang telah diajarkan Allah
kepada beliau.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam pun
sangat bersemangat mengajar para shahabiyah,
sampai-sampai beliau menyuruh wanita yang
haid, baligh, dan merdeka untuk menyaksikan
kumpulan ilmu dan kebaikan. Bahkan beliau
Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam memutuskan udzur
wanita yang tidak memiliki hijab, sebagaimana
yang disebutkan dalam Shahihain dari Ummu
‘Athiyah Al Anshariyah radhiallahu ‘anha, ia
berkata : “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam
menyuruh kami mengeluarkan wanita yang
merdeka, yang haid, dan yang dipingit untuk
keluar pada hari Iedul Fithri dan Adha. Adapun
yang haid memisahkan diri dari tempat shalat,
dan mereka pun menyaksikan kebaikan dan
dakwah kaum Muslimin. Aku berkata : ‘Wahai
Rasulullah! Salah seorang dari kami tidak memiliki
jilbab.’ Beliau bersabda : ’Hendaklah saudaranya
meminjamkan jilbabnya.’”
Oleh karena itulah, kita dapatkan dalam sejarah
Islam, di antara mereka ada yang menjadi ahli
fiqih, ahli tafsir, sastrawati, dan ahli dalam seluruh
bidang ilmu dan bahasa. Sebagai contoh, Ummul
Mukminin ‘Aisyah radhiallahu ‘anha yang dididik
dalam madrasah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa
Sallam sehingga beliau menjadi wanita yang
berilmu dan shalihah.
Imam Az Zuhri rahimahullah berkata :
”Seandainya ilmu ‘Aisyah dikumpulkan dan
dibandingkan dengan ilmu seluruh wanita, maka
ilmu ‘Aisyah lebih afdhal.”
Bahkan ‘Aisyah merupakan guru dari beberapa
shahabat, ia menjadi bahan rujukan mereka
dalam masalah hadits, sunnah, dan fiqih. Urwah
bin Az Zubair berkata : “Aku tidak melihat orang
yang lebih mengetahui ilmu fiqih, pengobatan,
dan syi’ir ketimbang ‘Aisyah.”
Para wanita dari kalangan tabi’in juga berdatangan
ke rumah ‘Aisyah untuk belajar, di antara
muridnya adalah Amrah bintu ‘Abdurrahman bin
Sa’ad bin Zurarah. Ibnu Hibban berkata : “Dia
adalah orang yang paling mengetahui hadits-
haditsnya ‘Aisyah.”
Di antara deretan nama wanita generasi terdahulu
yang cemerlang dalam ilmu adalah Hafshah bintu
Sirin yang masyhur dengan ibadahnya,
kefaqihannya, bacaan Al Qur’annya, dan hadits-
haditsnya. Begitu pula Ummu Darda Ash Shuqra
Hujaimah, ia seorang yang faqih, ’alimah, banyak
meriwayatkan hadits, cerdas, masyhur dengan
keilmuan, amalan, dan zuhudnya.
Demikianlah –wahai saudariku Muslimah– mereka
adalah contoh terbaik bagi kita dan telah terbukti
bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mengangkat
derajat orang-orang yang berilmu sebagaimana
firman-Nya :
“Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman dan orang-orang yang diberi ilmu
pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha
Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al
Mujadilah : 11)
Semoga Allah memudahkan jalan bagi kita untuk
menuntut ilmu dan memberikan ilmu yang
bermanfaat. Amin. Wallahu A’lam Bis Shawab.
Maraji’ :
1. Al Qur’anul Karim
2. Inayatun Nisa’ bil Hadits An Nabawi. Abu
‘Ubaidah Masyhur bin Hasan Alu Salman.
3. Nisa’ Haula Ar Rasul. Mahmud Mahdi Al
Istambuli dan Musthafa Abu Nashr Asy Syalbi.
4. Riyadlus Shalihin. Imam Nawawi.
5. Bahjatun Nadhirin. Salim bin ‘Ied Al Hilali.
6. Aisarut Tafasir. Abu Bakar Jabir Al Jazairi.
7. Hasyiyah Ats Tsalatsah Al Ushul. Muhammad
bin Abdul Wahhab.
(Sumber : http://salafy.or.id/salafy.php?
menu=detil&id_artikel=51)

1 comment:

  1. mramaluddin.blogspot.com @ saya suka dengan bacaan-bacaan yang kamu buat ...

    ReplyDelete